HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Wawancara Imajiner di Kafe Kecil dengan Chairil Anwar

April 29, 2025 16:26
IMG-20250429-WA0068

LK Ara

HATIPENA.COMSore berwarna kopi di sudut kafe kecil, meja kayu, lampu kuning temaram, dan asap rokok yang perlahan melayang di udara. Di pojok, seorang lelaki duduk dengan kemeja putih kusut — Chairil Anwar. Aku duduk di depannya, membawa catatan kecil.


Aku:
“Selamat sore, Bang Chairil. Terima kasih sudah mampir ke sini… di sela-sela perjalanan panjangmu.”

Chairil Anwar:
(tersenyum tipis)
“Ah, aku memang tak pernah benar-benar pergi.”

Aku:
“Banyak orang mengenangmu setiap Hari Puisi, Bang. Rasanya, puisimu tetap hidup, meski kau sudah pergi jauh. Apa kau pernah membayangkan akan sebesar ini?”

Chairil Anwar:
(menghembuskan asap pelan)
“Aku menulis bukan untuk dikenang. Aku menulis untuk hidup. Untuk mengerang, untuk menjerit, untuk tertawa… Semua itu hidup dalam kata.”

Aku:
“Kalau melihat anak-anak muda zaman sekarang, yang menulis puisi di media sosial, dengan berbagai gaya, apa pendapatmu?”

Chairil Anwar:
(menyeringai)
“Bebas. Puisi itu harus bebas. Tak peduli di kertas buram atau layar ponsel. Yang penting, ada nyawa di dalamnya.”

Aku:
“Bang, dulu katanya kau menulis di tengah lapar, di tengah hidup yang keras. Apa itu membuat puisimu lebih dalam?”

Chairil Anwar:
(tertawa pendek)
“Lapar, cinta, marah, rindu — semua itu guru yang kejam tapi jujur. Kalau kau kenyang terus, kadang kata-kata jadi malas.”

Aku:
“Bang Chairil, kalau malam-malam kami kehabisan kata, kehabisan semangat, apa yang harus kami lakukan?”

Chairil Anwar:
(tersenyum simpul)
“Pergi keluar. Dengarkan angin. Dengarkan suara jalanan. Kadang kata-kata tersembunyi di antara langkah orang-orang yang pulang.”

Aku:
“Bang, menurutmu puisi itu lebih baik ditulis untuk diri sendiri atau untuk orang lain?”

Chairil Anwar:
“Untuk diri sendiri dulu. Kalau tulus, nanti orang lain ikut merasa. Puisi yang pura-pura hidup hanya akan jadi debu.”

Aku:
“Kalau suatu hari puisi tidak lagi dihargai, tidak dibaca, apakah kau akan tetap menulis?”

Chairil Anwar:
(mengepalkan tangan di atas meja)
“Puisi bukan soal dihargai atau tidak. Puisi itu kebutuhan, seperti bernafas. Aku akan tetap menulis, meski dunia diam membatu.”

Aku:
“Akhirnya, Bang… kalau ada satu baris yang bisa kau wariskan untuk kami semua, satu saja, apa itu?”

Chairil Anwar:
(menatap lekat-lekat)
“‘Aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang…’ Tapi ingat, jalang bukan berarti liar tanpa arah. Jalang artinya merdeka memilih jalan sendiri.”


Akhir wawancara:
Di luar, hujan mulai turun perlahan. Chairil menghabiskan kopinya, lalu berdiri, melambaikan tangan sambil menghilang ke dalam gerimis.


Penutupan:

Aku duduk sejenak, merenungi kata-kata yang baru saja terucap. Suasana kafe yang semakin sepi, hujan yang semakin deras, dan suara Chairil yang seolah terus bergema dalam batin. Puisi memang tak pernah benar-benar mati. Mereka hidup di setiap kata yang berani kita tulis.