HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Zaman Bergerak

September 14, 2025 09:20
IMG-20250914-WA0040

Oleh ReO Fiksiwan

HATIPENA.COM – Penderitaan rakyat akibat bencana alam, wabah penyakit, dan tekanan ekonomi yang berkepanjangan telah menciptakan suasana sosial yang siap meledak. Ketika struktur tradisional terguncang oleh sistem kolonial, rakyat menemukan pelarian dalam agama dan harapan akan keadilan ilahi.” …Gerakan sosial ini bukan sekadar reaksi spontan, melainkan ekspresi dari kesadaran kolektif yang terbangun melalui pengalaman penderitaan dan eksploitasi.” — Aloysius Sartono Kartodirdjo (1921-2007), The Peasants’ Revolt of Banten in 1888: Its Conditions, Course and Sequel (1966; Terjemahan, 1984;2015).

Zaman tidak bergerak oleh angin sejarah, melainkan oleh amarah yang dipupuk dalam diam.

Eric Hoffer menyebut mereka “true believers”—mereka yang rela menanggalkan kenyamanan demi keyakinan, bahkan jika keyakinan itu dibangun di atas bara frustrasi dan harapan yang tak kunjung tiba.

Dari Jakarta yang membara, Nepal yang meledak, hingga Australia yang menggeliat, kita menyaksikan generasi yang tak lagi sabar menunggu perubahan dari atas. Mereka memilih mengguncang fondasi.

Di Indonesia, demonstrasi dan kerusuhan bukanlah barang baru.

Namun, setiap kali massa turun ke jalan, kita cenderung mengulang narasi lama: “anak muda emosional,” “provokasi,” atau “agenda asing.”

Padahal, seperti yang ditulis Anton E. Lucas dalam Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi (1989), pergolakan sosial di Tegal, Brebes, dan Pemalang bukan sekadar letupan amarah, melainkan akumulasi dendam sejarah terhadap pangreh praja yang lebih sibuk menjaga status quo daripada mendengar jeritan rakyat.

Lucas, dengan gaya yang nyaris sinis, menunjukkan bagaimana revolusi sosial bisa menjadi panggung bagi para “Robin Hood lokal” seperti Kutil—yang membagi-bagikan kain sambil keliling dengan Ford Mercury kuning.

Ironi sejarah: revolusi yang katanya untuk rakyat, tapi juga jadi ajang gaya hidup baru bagi para pemimpinnya.

Sementara itu, Paulo Freire (1921-1997) dari Brasil mengingatkan bahwa penindasan tak hanya terjadi di jalanan, tapi juga di ruang kelas.

Dalam Pedagogy of the Oppressed (1968; Terjemahan, 1984), ia mengkritik pendidikan gaya bank—di mana murid dianggap sebagai celengan kosong yang diisi oleh guru yang sok tahu.

Freire menuntut pendidikan yang membebaskan, yang memungkinkan kaum tertindas untuk “membaca dunia,” bukan sekadar “membaca kata.”

Ia percaya bahwa pendidikan harus menjadi alat emansipasi, bukan domestikasi. Tapi di banyak negara, termasuk Indonesia, pendidikan masih menjadi alat pelanggeng status quo.

Murid diajarkan untuk patuh, bukan untuk bertanya. Mereka dibentuk untuk menjadi pekerja, bukan pemikir. Nepal menjadi panggung paling dramatis bagi revolusi Gen Z.

Ketika pemerintah melarang 26 platform media sosial, anak-anak muda tak hanya marah—mereka membakar gedung parlemen, memaksa Perdana Menteri Sharma Oli (73) mundur, dan menguasai bandara internasional.

Koordinasi dilakukan lewat Discord dan Instagram, bukan lewat partai atau organisasi resmi.

Mereka tidak punya pemimpin, tapi punya tujuan: akuntabilitas, transparansi, dan akhir dari nepotisme. Gerakan ini bukan sekadar digital, tapi juga brutal.

Lebih dari 50 orang tewas, ratusan luka, dan ribuan lainnya menolak kembali ke sekolah sampai pemerintah bertanggung jawab.

Di Australia, Gen Z bergerak dengan cara yang lebih halus tapi tak kalah tajam.

Mereka menolak eksploitasi lingkungan, menuntut reformasi pendidikan, dan menantang sistem politik yang dianggap terlalu tua dan terlalu lambat.

Gerakan ini tidak meledak seperti di Nepal, tapi menggerogoti dari dalam.

Mereka menggunakan media sosial, seni, dan pendidikan alternatif untuk membangun kesadaran kolektif. Mereka tidak menunggu revolusi; mereka menciptakan evolusi.

Namun untuk memahami akar gerakan rakyat, kita harus kembali ke Jawa awal abad ke-20.

Dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Petani di Jawa 1912–1926 (1997), Takashi Shiraishi (75); edisi Inggris An Age in Motion: Popular Radicalism in Java 1912–1926 (1990), membongkar lapisan-lapisan sejarah yang sering dilupakan.

Ia menunjukkan bahwa radikalisme bukanlah virus yang datang dari luar, melainkan hasil dialektika antara pengalaman lokal dan ideologi global.

Sarekat Islam, Insulinde, Partai Komunis Indonesia, dan Sarekat Rakyat bukan sekadar organisasi politik, melainkan laboratorium sosial tempat rakyat biasa belajar berpikir modern.

Di Surakarta, Semarang, dan Yogyakarta, para petani dan buruh mulai memahami bahwa ketertindasan mereka bukan takdir, melainkan konstruksi sosial yang bisa diubah.

Shiraishi menyoroti bagaimana Islamisme, komunisme, dan nasionalisme saling bertarung dan berkelindan dalam tubuh gerakan rakyat.

Ia menunjukkan bahwa para tokoh seperti Haji Misbach tidak hanya bicara soal agama, tapi juga soal keadilan sosial dan pembebasan kelas.

Gerakan rakyat saat itu bukan hanya soal melawan Belanda, tapi juga soal melawan feodalisme lokal dan struktur kekuasaan yang menindas.

Dengan kata lain, zaman bergerak karena rakyat mulai berpikir—dan berpikir itu sendiri adalah tindakan revolusioner.

Zaman bergerak bukan karena elite menginginkannya, tetapi karena rakyat memaksanya.

Dari petani Banten yang mengangkat parang, mahasiswa Jakarta yang mengangkat poster, hingga Gen Z Nepal yang mengangkat ponsel sebagai senjata, semua menunjukkan bahwa gerakan publik adalah denyut jantung sejarah.

Mereka adalah pengingat bahwa kekuasaan bukanlah milik mereka yang duduk di atas, tetapi milik mereka yang berani berdiri di bawah.

Dan jika sejarah terus mengulang dirinya, mungkin karena kita terlalu malas untuk menulis bab baru.

Tapi Gen Z tampaknya sudah mulai menulisnya—dengan tinta, api, dan algoritma. (*)

coversongs: Wind of Change, lagu ikonik dari band rock asal Jerman, Scorpions, yang dirilis pada tahun 1990 sebagai bagian dari album Crazy World.

Lagu ini ditulis oleh vokalis Klaus Meine dan menjadi salah satu single terlaris mereka, dengan penjualan lebih dari 14 juta kopi di seluruh dunia.

Makna lagu “Wind of Change” sangat kuat secara historis dan emosional. Lagu ini lahir dari semangat perubahan yang melanda Eropa Timur pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, terutama setelah runtuhnya Tembok Berlin dan berakhirnya Perang Dingin.

Klaus Meine menulis lagu ini setelah tampil di Moscow Peace Festival tahun 1989, di mana ia merasakan atmosfer harapan dan transformasi yang menyelimuti masyarakat Soviet saat itu.