Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Ziarah Jiwa

April 7, 2025 11:22
IMG-20250407-WA0030

Oleh: Rizal Tanjung

I

(Dari Ilmu Menuju Sujud)

Aku tumbuh dengan cinta pada buku.
Buku adalah semesta pertamaku.
Dari sana aku belajar kata, kalimat, konsep, dan kemudian… kesombongan.

Ilmu memberiku bahasa untuk menjelaskan dunia.
Namun ia tidak memberiku bahasa untuk menyapa Tuhan.

Aku duduk berjam-jam membaca,
menumpuk pemahaman demi pemahaman,
menara demi menara,
hingga aku tak sadar bahwa aku sedang membangun jarak dengan bumi—
tempat di mana sujud seharusnya terjadi.

Aku tahu banyak tentang Tuhan,
tapi aku tak dekat dengan-Nya.

II

(Tentang Ego yang Pandai Bicara, Tapi Tak Pernah Mendengar)

Ego adalah makhluk paling pandai bicara.
Ia menjawab bahkan sebelum aku bertanya.
Ia membuatku yakin bahwa aku telah “tahu”,
padahal aku belum pernah “hadir”.

Ego berdiri di balik podium ilmuku,
berbicara dengan fasih,
berdebat dengan mulus,
tapi ia takut sekali mendengar keheningan.

Sebab dalam diam,
ia bisa mati.

Saat aku membaca kisah iblis yang menolak sujud,
aku menyadari:
ia bukan makhluk bodoh.
Ia terlalu pandai untuk tunduk.
Dan aku—dalam segala gelar dan bacaan—sering kali lebih dekat pada iblis dalam logika,
daripada hamba dalam pasrah.

Para sufi berkata:
“Bunuh egomu bukan dengan logika,
tapi dengan cinta.”

III

(Antara Zikir dan Buku)

Ilmu membuatku bicara.
Zikir mengajarkanku mendengar.
Ilmu memintaku bertanya.
Zikir mengajarkanku diam.

Dalam diam itu, aku tak menemukan konsep,
aku menemukan getaran.

Satu demi satu dinding dalam diriku runtuh,
dan aku melihat:
bahwa zikir bukan sekadar pengulangan,
tapi panggilan.
Panggilan untuk pulang.

Ketika aku menyebut nama-Nya,
dan air mata jatuh tanpa alasan logis,
aku tahu:
aku sedang kembali kepada asalku.

IV

(Ketika Sujud Lebih Tinggi dari Menara Ilmu)

Aku telah berdiri di puncak menara ilmu.
Melihat ke bawah dengan penuh rasa bangga.
Tapi jiwaku hampa.

Sampai aku sujud.

Dan saat keningku menyentuh tanah,
aku menyentuh langit.

Para sufi benar:
sujud adalah tangga ke langit yang dibuat dari kerendahan.
Tuhan tidak ditemukan oleh orang yang tinggi,
tapi oleh orang yang rela turun.

Sujud bukan kelemahan.
Ia adalah keberanian untuk tidak menjadi siapa-siapa.

V

(Cinta Adalah Ilmu Tanpa Kata-Kata)

Aku telah membaca ratusan buku tentang cinta.
Tapi aku baru mengenalnya ketika aku kehilangan.
Ketika aku menangis tanpa sebab.
Ketika aku rindu pada sesuatu yang tak bisa disebut.

Cinta adalah ilmu yang tak diajarkan,
karena ia hanya bisa dialami.

Aku mencintai seseorang,
lalu menyadari bahwa aku mencintainya karena Dia yang bersembunyi di balik wajahnya.

Setiap kehilangan adalah isyarat,
setiap rindu adalah kompas.

Dan cinta sejati…
bukan milik, bukan balasan,
tapi pengosongan.

Pengosongan yang menyiapkan dada
sebagai singgasana Tuhan.(*)

2025.