Ulasan Artistik – Arby Samah
Oleh: Rizal Tanjung
HATIPENA.COM – Di sudut senyap galeri, di antara bayang-bayang yang jatuh dari lampu sorot dan diam batu-batu yang tak bersuara, berdirilah karya-karya Arby Samah: seperti doa-doa purba yang dibekukan waktu, dan kini bernafas kembali dalam tubuh patung yang tak menyerupai apa-apa, namun berbicara tentang segalanya.
Mereka bukan patung. Mereka adalah getaran sunyi.
Dalam dunia yang mengukur seni dengan bentuk dan pesan, Arby Samah menjawab dengan ketiadaan bentuk yang pasti, seperti tanah yang tak memilih bunga mana tumbuh di atasnya. Ia tidak menggurat wajah manusia, tidak pula menirukan tubuh dewa-dewa. Ia justru mencipta tubuh dari kehampaan, jiwa dari lubang, dan jiwa yang belum dilahirkan. Di tangan Arby, batu bukanlah benda keras, melainkan makhluk lunak yang tengah bermeditasi.
Lihatlah patung hitamnya — yang bolong, yang berlubang, yang mencakar langit seperti huruf purba. Itu bukan sekadar objek. Itu adalah huruf dari bahasa yang sudah punah, yang hanya bisa dibaca oleh hati yang telah merindukan makna yang tak bisa dijelaskan. Ia seperti mantra patah dari arsitektur Minang yang jatuh dari rumah gadang ke dalam mimpi seorang penyair.
Lalu patung kecil yang menyerupai tangan, atau isyarat, atau mungkin gelombang suara yang dibekukan. Ia seolah berucap dalam diam: “Di sinilah aku, yang pernah jadi bagian dari semesta, tapi kini berdiri sendiri. Tapi aku masih utuh. Aku masih bernyanyi.” Gestur itu, sekilas seperti lelucon, tetapi dalam tafsir keabadian, mungkin ia adalah simbol dari penerimaan — akan absurditas hidup, akan bentuk yang tak selesai, akan ruang yang tak bisa dijangkau oleh peta.
Patung gumpal yang di pojok kiri—mirip tubuh manusia namun tanpa wajah, tanpa batas antara pangkal dan ujung—mengingatkan kita pada rahim semesta, tempat segala hal dimulai tanpa pernah tahu akan berakhir di mana. Karya ini tidak sedang menggambarkan manusia, tetapi sedang menjadi manusia — rapuh, berat, dan tak tahu arah, namun tetap tegak.
Bagi Arby Samah, batu bukanlah medium yang harus dikuasai, melainkan rekan bicara yang harus didengarkan. Ia tidak memahat; ia membebaskan. Tidak menaklukkan; ia merawat ingatan alam.
Sebagai pelopor patung abstrak Indonesia, ia berdiri sejajar dengan para pematung dunia yang memilih ketakterjelasan sebagai jalan pulang, seperti Barbara Hepworth yang percaya bahwa lubang di tengah patung adalah tempat masuknya cahaya, seperti Brancusi yang mencari burung dalam sebutir telur, atau seperti Isamu Noguchi yang menyembunyikan Zen dalam bebatuan taman.
Tapi Arby berbeda. Ia menanamkan jiwa Minangkabau ke dalam rongga-rongga batu, membuat tiap pahatan terasa seperti pantun yang lupa dikisahkan, atau salawat yang membatu karena terlalu dalam tertanam dalam jiwa tanah.
Kini, di usianya yang ke-95 (dalam kenangan), karya-karya Arby Samah bukan sekadar peringatan bagi seorang maestro, melainkan zikir material yang menantang kita untuk memandang ruang sebagai makna, diam sebagai bahasa, dan batu sebagai tubuh dari puisi yang tak pernah ditulis.
Arby Samah tidak membuat patung. Ia menulis sajak dengan batu.
Dan sajak-sajaknya akan terus bicara, meski kita tak lagi mampu mendengar, karena barangkali, seperti kata waktu:
“Yang abadi bukan bentuknya, tapi sepi yang ia tinggalkan.”
Galeri Taman Budaya Sumatera Barat, Pameran Patung Internasional, 19–23 Juni 2025.
Sumatera Barat, 2025