Kontributor : Lasman Simanjuntak
JAKARTA, HATIPENA – Masih belum percaya rasanya aku punya buku sendiri dua buah buku sekaligus.
Sejak jaman dulu di Balikpapan, Bontang lalu pindah ke Purwokerto, semua hanya wacana.
Pernah ditawari oleh seorang sastrawan Kalimantan Timur Kaltim Korrie Layun Rampan (almarhum). Namun, aku saat itu memang tidak begitu menggebu punya buku, sehingga tidak langsung kusegerakan proses yang harus kulakukan meski saat itu manuskrip sudah siap.
Lalu pernah juga ditawari beberapa teman untuk menerbitkan secara indie dengan harga murah. Termasuk juga suami, yang bersedia memfasilitasi. Namun, lagi-lagi mungkin faktor aku yang “lelet” dan “mager” sehingga tidak terwujudlah bukuku.
Hingga beberapa bulan lalu aku berkenalan lalu lumayan dekat dengan circle bang Riri Satria.

Dalam komunitas Jagat Sastra Milenia (tentu saja bang Riri kepala sukunya-red), yang terdiri dari tujuh anggota dan beberapa sahabat yang kesemuanya telah punya buku, baik puisi ataupun cerpen.
Bang Riri sempat mencari tahu siapa aku lewat google search dan di sana didapatkan jawaban bahwa aku pernah ” berjaya” di dunia sastra pada tahun-tahun 2003 – 2015.
Sempat produktif lalu pasang-surut. Sering membersamai para penyair dalam buku-buku, hadir dalam banyak acara sastra dan beberapa kali menjadi pembicara bersama para sastrawan lain ketika di Kalimantan Timur.
Hanya saja memang kuakui : aku belum punya buku tunggal barang sebiji. “Ini hal yang sangat disayangkan,” ujar bang Riri saat itu.
Lalu dalam hitungan hari, aku di-challenge,di-briefing,dan selanjutnya di-oyak-oyak untuk segera punya buku sendiri.
Tak main-main. Aku yang biasanya slow motion dalam hal beginian, tiba-tiba seperti kesurupan, mengaduk-aduk naskah lama (manuskrip lama entah ke mana, raib bersama gonta-gantinya laptop), mengetik ulang dari buku antologi bersama dll.
Aku lalu berhadapan dengan dua Srikandi JSM yaitu mbak Nunung Noor El Niel dan umi cantik Rissa Churria untuk proses seleksi naskah awal. Oke, layak kata mereka.
Proses selanjutnya, syekh Sofyan RH Zaid bergelut dengan naskahku yang awut-awutan. Aku tak jeli soal EYD. Sebulan, dua bulan, selesai.
Persoalan utama tentu pada biaya untuk mencetak. Siapa yang menanggung? Tentu saja bang Riri.
Juga biaya honor para endorsment, para penggarap layout, design, dan masih banyak lagi.
Belum lagi saat bang Riri bilang bukuku ini akan diluncurkan, agak besar-besaran, mengundang para pembicara, pembaca puisi. Ya Allah, aku tertegun. Ya, aku tahu ini akan makan banyak biaya.
Pada hari tiba, bukuku benar-benar jadi. Dua puluh eksemplar untuk uji coba dulu. Rasanya deg-degan membuka halaman demi halamannya.
Ada 12 sastrawan memberi endorsment untuk kedua bukuku. ” Akan ada 250 eksemplar lagi untuk masing-masing buku” kata bang Riri.
Mataku berkaca-kaca.
Akan ada dua acara launching, via online (zoom) untuk memberi kesempatan teman-temanku yang berdomisili di Kalimantan dan luar Jabodetabek.
Mengundang lima sastrawan plus Mbak Nunung sebagai pemberi sambutan, yang kesemuanya berada di luar Jakarta. Terjauh adalah jeng Naning Scheid yang onlen dari Belgia, tempat ia tinggal. Acara dihadiri 40 orang kawan. Masyaallah.
Lalu hari peluncuran pertama, buku kumpulan cerpen berjudul “Saga, Serigala, dan Sebilah Mandau” (Shantined) dengan prolog Riri Satria dan epilog Mahwi Air Tawar. Kemudian, kedua buku kumpulan puisi berjudul ” Kita Yang Tersisa Dari Luka Cuaca” (Shantined) dengan prolog Riri Satria dan epilog Warih Wisatsana.
Ada lima sastrawan kondang plus satu psikolog diundang pada peluncuran (launching) kedua buku tersebut di Aula Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Lantai 4 Gedung Panjang Ali Sadikin, Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) di Taman Ismail Marzuki, baru-baru ini, untuk mengulas karyaku.
Ada kaos seragam untuk panitia. Ada bunga yang diberikan padaku dari Jagat Sastra Milenia. Ada snack box premium.
Ada sepasang buku yang dibagikan kepada setiap yang hadir (sekitar 70 peserta), ada para pembaca puisi, ada pembaca cerpen.
ada juga anakku membaca puisi pembuka, ada suami yang turut diberi penghargaan serah terima buku di awal acara, ada kawan-kawan yang hadir, beberapa diantaranya adalah kawan lama yang sudah lama tak terhubung. Masyaallah, subhanallah.
Tak terasa air mataku menitik bahagia. Betapa besar jasa dan daya upaya bang Riri mempersiapkan ini. Bahkan, aku pun tak punya harapan sebesar ini.
Sebuah hadiah di usiaku yang sudah tak muda lagi. Buku. Sepasang buku, beserta segala kemewahan acara yang tak kubayangkan sebelumnya.
Nilai yang tak hanya besar di nominal, namun juga betapa manjur segala support, motivasi, termasuk galak saat mengingatkanku soal deadline dan lain – lain.
Terima kasih bang Riri. Aku berjanji, akan selalu berkarya dan berkarya lagi.(*)