Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

“Forgotten Truth”

February 5, 2025 11:56
IMG-20250205-WA0032

Oleh ReO Fiksiwan

HATIPENA.COM – Fisikawan Richard Feynman berujar kepada murid-muridnya, “Jangan pernah menanyakan bagaimana
cara kerja alam semesta, karena pertanyaan seperti itu akan menyeret kalian ke dalam sebuah lubang. Tak seorang saintis pun bisa keluar darinya dengan selamat. Ketahuilah, tak ada manusia yang dapat memahami bagaimana alam bekerja.” – Huston Smith(1919-2016), Forgotten Truth: The Common Vision of World’s Religions(1976).

Tinjauan historis pemikiran filsafat analitik abad kedua puluh tentang kebenaran menunjukkan betapa beragamnya pemikiran ini dan seberapa sering teori-teori lama ditinggalkan dan dilupakan, hanya untuk diangkat kembali. Sebab, di satu sisi, teori-teori yang memiliki nama yang sama sering kali terbukti sangat berbeda.

Namun, di sisi lain, banyak posisi yang diadopsi pada akhir abad ini, dalam upaya untuk menemukan arah baru bagi filsafat kebenaran, ternyata sangat mirip dengan teori-teori yang ditawarkan pada awal abad ini yang sebagian besar diabaikan dalam pencarian hal-hal baru.

Terlepas dari berbagai teori kebenaran yang telah, dan masih didukung, tampaknya ada konsensus yang berkembang tentang sejumlah klaim penting tentang kebenaran.

Mayoritas ahli teori kontemporer setuju, misalnya, bahwa tidak banyak yang bisa dikatakan tentang kebenaran, dan bahwa teori-teori kebenaran kurang penting bagi filsafat, daripada yang pernah dipikirkan sebelumnya.

Sementara konsensus yang dihasilkan dapat disebut sebagai sikap deflasi terhadap kebenaran, hal itu harus dibedakan dengan hati-hati dari komitmen terhadap apa yang biasanya disebut teori-teori deflasi tentang kebenaran.

Demikian sedikit cuplikan dari Stewart Candlish dan Nic Damnjanovic dalam A Brief History of Truth (2007) untuk mengawali kritik terhadap apa yang kini digaungkan sebagai paska kebenaran (post-truth) atau dalam dunia Islam sejak era 90-an dikedepankan oleh mendiang aktivis intelektual, Farag Fouda (1945-1992), dalam “Al-Haqiqah-Al-Ghaybah” (Kebenaran yang Hilang).

Namun, naas bagi Fouda, kritiknya pada “kebenaran yang hilang” dalam sejarah klasik dunia Islam, khusus di masa paska nabi (kulafah rasyidin), harus menerima sangkalan yang keras dari kleim kebenaran (truth claim) oleh kaum tradisionalisme yang diwakili mendiang ulama tersohor di Mesir, Muhammad Al-Ghazali dan mengakibatkan ia dibunuh (https://islami.co/farag-fouda-pemikir-islam-yang-dibunuh-karena-dituduh-menistakan-agama/).

Jauh sebelum itu, kritik dan benturan (clash) dalam tradisi pemikiran (filsafat) selalu memakan korban personal oleh kleim kebenaran yang terlanjur “diimani” secara buta dan bidah(heretic). Korban-korban ini bukan sekedar hukuman mematikan. Tapi, ia selalu disertai gejolak tiada henti oleh kemunculan permusuhan abadi antara agama dan sains.

Dengan kata lain, melalui mendiang Huston Smith (1919-2016), dalam Forgotten Truth (1976) dan kelak disusul, Why Religion Matters (2000), pencarian kebenaran itu vis a vis agama vs sains, harus melewati empat terowongan meliputi: lantainya (sainstisme), dinding kiri (pendidikan), kanan (media) dan atapnya (media).

Menurut Kevin Moore (https://www.uu.edu/centers/science/books/reviews/review.cfm?ID=37), “ secara cerdik Smith menggunakan analogi terowongan. Ia berpendapat bahwa banyak orang yang melihat ke dalam terowongan ini dan telah kehilangan penglihatan tepi, yaitu pandangan dunia tradisional. Smith membahas terowongan ini secara terperinci. Smith melabeli saintisme sebagai lantai terowongan, pendidikan tinggi sebagai dinding kiri, media sebagai atap, dan hukum sebagai dinding kanan terowongan.”

Menilik perspektif Smith, boleh jadi terbunuhnya Fouda merupakan korban miopik kebenaran yang dimasuki melewati keempat terowongan, baik oleh Fouda, Ak-Ghazali dan publik Mesir ketika itu. Secara lokal, kita juga menemukan tragedi pada korban 14 aktivis 98, Munir, Wiji Thukul dan terakhir penembakan di Kilometer 50 bagi aktivis FPI.

Tampak, para korban “kebenaran yang hilang atau dilupakan” menjadi titik tumpu bagi siapapun yang mengritik dan mempersoalkannya, baik praksis maupun filosofis, demi pencarian yang mustahil dihindari, pun oleh siapapun yang akan menyangkal maupun menafikan keempat fakta-fakta dalam terowongan (the tunnel) versi Smith maupun Fouda.

Akhirnya, sejarah kebenaran, baik yang dipasok oleh filsafat, sains dan agama, akan terus menjejakkan apa yang disebut Goethe sebagai “das ewiges Problem” dalam memasuki terowongan abadi bernama: keyakinan (fides). Dan pasalnya, keyakinan itu sendiri akan terus berbenturan antara akal (sains) vs iman (belief) dari masa manapun.

Rujukan:

https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/B9780444515414500129
https://www.uu.edu/centers/science/books/reviews/review.cfm?ID=37