Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Mengurai Nilai Diri Sendiri  dalam Estetika Puisi

February 14, 2025 09:25
IMG_20250214_092416

Anto Narasoma

HATIPENA.COMMeneropong bahasa puisi dalam berbagai karya yang disajikan ke dalam satu kumpulan (antologi), akan mencerdaskan struktur bahasan seseorang dari sejumlah karya yang ada.
-0-

Sebab dari beragam ide dan fakta di dalam isi tiap puisi, akan ditembus dari berbagai celah penafsiran.

Karena itu, membaca puisi penyair senior Barokah Nawawi yang kaya pengalaman hidup seolah membuka ruang luas bagi pembaca untuk memahami setiap struktur majas yang dkungkapnya.

Buku kumpulan puisi lPrasasti Lereng Sindoro , misalnya. Tatkala saya mulai menyibak tiap kata dalam rangkuman karya yang berjumlah 67 puisi itu, kita diajak berkelana ke dunia fakta dan keindahan estetika.

Hal paling menarik dari susunan puisi di antologi itu, ialah puisi Sapu Lidi (paling awal) dan puisi Prasasti Lereng Sindoro yang diposisikan paling akhir. Bahkan judul puisi Prasasti Lereng Sindoro juga menjadi titel (judul) buku antologi ini.

Sapu Lidi
Andaikan kita menelaah secara mendalam uraian isi puisi ini, kita akan menyatu dengan kreativitas wanita tua yang begitu gigih  meraih dan menepiskan berbagai persoalan tidak penting di dalam kehidupannya.

Dari bait pertana,…_Ketika angin bertiup dini hari//Sapu lidi mulai menari//Iramanya lembut menyentuh sanubari_.

Secara konotatif,  bahasa tanda-tanda seperti ini menjelaskan tentang satu harapan tanpa rintangan ketika ibu tua itu mulai bekerja.

Secara konotatif, dengan hati polos tanpa beban, ibu tua mulai menggulung segala persoalan lewat sapuan sapu lidinya.

Dari beragam persoalan yang ditemuinya di lapangan, penyair menjelaskan tentang ketulusan dan keikhlasan jiwa “ibu tua” untuk membersihkan segala bentuk sampah di halaman rumahnya.

Dalam uraian psilologis, ketulusan hati menjalani kehidupan itu harus dibarengi kebersihan hati dan ketulusan menghadapi berbagai kesulitan. Menyapu kotoran dan sampah di halaman rumah, tak hanya membersihkan lingkungan. Namun secara psikologis, orang memahami rasa dan perasaan di hati terdalam ibu tua tersebut.

Dari bait kedua puisi itu, bisa diketahui dari paras (wajah)  si tukang sapu tua bahwa penyair menjelaskan tentang keikhlasan diri ibu tua yang melakukan kewajiban sehari-harinya.

Di bait kedua puisi Sapu Lidi dipaparkan sebagai berikut.._Ibu berwajah teduh mulai menyapu//Halaman rumah tua yang penuh pepohonan//Kembang sepatu, ceplok piring, pohon jambu, mangga dan sawo kecik//Halaman tempat menabur kasih sayang dan menyemat mimpi-mimpi_.

Dari tuturan di atas, bagaimana bentuk keteduhan wajah yang merupakan cerminan hati. Dari sini bisa disimpulkan bagaimana kebersihan hati dan kebaikan dari corak sikapnya.

Dari isi puisi, dapat diterjemahkan segala corak kisahan tentang bagaimana suasa mudanya dulu, ketika anak-anaknya masih kecil-kecil.

Di bait lanjutan (bait keempat),.. _Berirama selepas sunuh//Mengalun di antara dinginnya embun pagi//Merangkai kembali kenangan masa silam//Saat anak-anak bermain kejar-kejaran//Dan tawanya yang riang memenuhi rongga hati_.

Memang beragam nilai perilaku, sikap pribadi, dan emosi terarah dari si penyapu tua, telah mendidik dirinya sendiri untuk menjadi ibu tua yang baik dan bijak.

Dari rentetan antologi puisi itu, terdapat juga puisi dalam kisahan alam semesta yang menrik kita cermati. Puisi apa itu?

Puisi bertajuk Orkestra Bulan Purnama, justru menggelar kisahan di seputar alam, sikap hidup  serta nilai kekaguman atas “perilaku” lingkungan yang telah memberikan keberkahan kepada manusia (penyairnya sendiri).

Dari rangkaian puisi menarik lainnya adalah  Perahu Kehidupan. Puisi ini cenderung menjelaskan tentang perilaku kehidupan yang tak terlepas dari gerak-gerak Sang Khalik.

Masih ingat tiga tahun lalu, ketika zama  pandemi (covid-19)? Nah, puisi ini menceritakan seputar kesengsaraan akibat virus corona.

Namun sebagai manusia yang selalu bersyukur dengan apa yang dianugerahkan kekuatan sikapnya, maka Mbak Barokah Nawawi (penyair) menuturkan melalui kalimat religi yang tenang dan sejuk.

Seperti yang dikemukakan penyair Jalaluddin Rumi,  sebagai penyair,  segala aspek kehidupan yang dirasakan  akan ditulisnya dengan perasaan syukur yang tiada terkira.

Pada bait pertama dari puisi Perahu Kehidupan itu berbunyi, .._Perahu kehidupan yang kutumpang//Terombang-ambing di tengah lautan tanpa batas//Kemudinya oleng diterpa ombak pandemi//Kehilangan arah mercusuar-Mu yang mulai redup//Lantaran tertutup kabut dosa yang sangat pekat_.

Nah, sekuat apapun jiwa manusia mengalami nilai-nilai pengalaman, ketika ia tak mampu umtuk melaksanakanya, maka satu jalan terbaiknya adalah berserah diri kepada-Nya.

Dari kalimat keempat, ._Kehilangan arah mercusuar-Mu yang mulai redup_,  artnya, dalam kalimat tanda-tanda itu  diartikan bahwa saat pandemi bergejolak, manusia hanya pasrah menanti panggilan ajal satu per satu. Keredupan suasana ini disebutkan adanya dosa sangat pekat yang dilakukan manusia (penyair). Itu dijelaskan di bagian akhir dari bait pertama,…_Lantaran tertutup kabut dosa yang sangat pekat_.

Seperti dikemukakan penyair besar Willibordus Surendra Broto Rendra (WS Rendra), ungkapan doa berbentuk seperti itu adalah satu kesadaran nilai seseorang (penyair) di saat menghadapi persoalan pelik.

Tentu saja, bagi Mbak Barokah Nawawi, persoalan isi di dalam puisi Perahu Kehidupan satu bentuk fakta yang dihadapi insan di belahan dunia.

Bisa jadi, dalam kaitan rasa di dalam jiwanya, ia (penyair) memberikan nasihat bagi kita, terutama untuk dirinya sendiri.

Bahkan di saat era berjangkitnya vitus corona, keadaan manusia tanpa terkecuali, hidup dalam kegelisan. Hidup, tapi ketika terjangkit covid, kematian itu tiba seperti runtuhnya daun-daun kering yang layu, kemudian jatuh berguguran.

Itu penyair ungkap pada bait kedua, …._Keadaan kami saat ini//Tidak hidup tidak mati tapi hampir sekarat//Limnunh diterpa badai corona tanpa henti//Dengan nakhoda kapal yang panik//Membuat kami makin terjepit_.

Beragam persoalan yang diungkap, tak hanya satu aspek persoalan saja, tapi penyair rangkai dengan sejumlah masalah lainnya.

Bagi penyair, mengungkap persoalan kehidupan hanya dari satu aspek saja memang terasa tidak mendalam. Bahkan di dalam fenomena kehidupan akan terasa kering dan getir.

Karena itu penyair melihat tiap perkembangan situasi yang ia tangkap, akan dilengkapi dengan satu perkembangan lainnya, sehingga pembaca dapat melihat berbagai persoalan dari kacamata yang kaya dan berbeda-beda.

Seperti yang diungkap violist besar Indonesia Idris Sardi, gaya bahasan seperti itu ibarat ruang psikologi seorang manusia, diajak berkelana dari satu jenis tranduser yang mengubah energi akustik (gelombang suara) menjadi sinyal listrik yang terang dan transparan.

Dalam buku Kesusasteraan Indonesia terbitan Jajasan Pembangunan Djakarta 1953, B. Simorangkir-Simandjuntak, mengatakan bahwa satu ikatan persoalan jang dilengkapi dengan persoalan lainnja, akan memperkaja wawasan pembaca (halaman 23).

Karena itu, dengan banyaknya pengalaman yang diajarkan, membuat pola pikir pembaca akan lebih kaya dan padat. Sebab dari apa yang dikemukakan B. Simorangkir-Simandjuntak itu, seorang pembaca tak mungkin bisa melepaskan ingatannya dari berbagai persoalan kehidupan yang dibacanya.

Sebagai karya sastra (puisi) yang mengemas segala persoalan melalui gaya ungkap yang kaya metapora. Selain itu, kerangka ungkapa Mbak Barokah Nawawi (penyair) sangat kuat membubuhi nilai estetika, sehingga pembaca tak hanya diajak untuk memahami lapisan isi semata, tapi ia mengajak pembaca untuk memahami kata pilihan (diksi) yang indah sebagai karya seni.

Penyair memang kaya dengan berbagai kreativitas. Sebab tiap puisi yang ia sertakan dalam kumpulan puisi Prasasti Lereng Sindoro , menguapkan keindahan alam dan penciptanya (Allah SWT).

Sebagai anak pesantren saat remajanya dulu, penyair mengungkap gadis-gadis kampung yang cantik dan berwajah teduh. Kecantikan itu diungkap sebagai konotasi bidadari dengan pemahaman nilai religiusitas (wanita santri).

_Pagi dingin berembun//Terdengar gemercik pancuran membasuh hati//Mengalirkan getar dzikir dari sela-sela jari yang basah//Disertai linangan air mata syukur para santri wati//Dalam ritual subuh dinihari_.(bait pertama).

Dari sajian awal puisi Gadis Berwajah Teduh ini dijelaskan nilai agama yang begitu kuat, sehingga kepasrahan kepada Allah SWT mengungkap tangisan rasa syukur yang tak mereka (gadis lirik) sadari.

Kepasrahaan yang kaffah semacam ini sangat sulit diterapkan seseorang (gadis lirik) andaikan jiwa mereka tidak lebur mendekat kepada Sang Penciptanya.

Memang, semua itu penyair ungkap dalam format bait kedua, .._Bagaikan seribu bidadari menari//Bakutan mukena (h) putih erat mendekap relung hati//Bersama dalam satu irama dan satu rasa//Menghadap Allah dan mengagungkan asma-Nya_.

Pembelajaran akhlak yang diungkap penyair dalam puisi ini memang memberikan nilai arti yang sangat mendalam tentang Tuhan dan akhlak kemanusiaan.

Sebab tak semua orang mampu memahami kaidah ke-Allah-an dalam prospek pembelajaran tentang Allah, siapa diri-Nya, bagaimana bentuk-Nya, dan kaidah apa yang diberikan-Nya kepada mahkluk (manusia) ciptaan-Nya, serta unsur-unsur pemahaman lainnya.

Dalam keteduhan wajah gadis-gadis itu, tentu menyiratkan kecantikan alami yang memancar dari hatinya. Sebab dengan cara berserah diri kepada Allah SWT, berarti  satu bentuk kepasrahan diri atas kebutuhan manusia itulah akhirnya yang mempercantih wajah gadis-gadis (lirik) itu.

Di bait terakhir, secara estetik penyair mengungkap kepasrahan hakiki di tempat mereka menuntut ilmu agama (madrasah).

_Gadis-gadis berwajah teduh//Senyumnya menghias seluruh sudut madrasah//Semangat dan aktif dalam rutinitas penuh pesona//Mempersembahkan seluruh jiwa dan karsa//Menuntut ilmu yang bermanfaat//Sebagai bekal hidupnya nanti_.

Puisi yang ditulis penyair dalam tahun 2021 itu, menjelaskan tentang sikap tulus gadis-gadis dalam lirik menyerahkan dirinya kepada Allah.

Kecintaan seperti ini seolah ungkapan semu dari sikap dan perilaku para santriwati (lirik). Padahal sebagai keyakinan kaffah, mereka menyerahkan kehidupannya untuk bekal mereka kelak.

Yang jadi pertanyaan, bekal apa dan hidupnya yang bagaima (nanti)? Pertanyaan sepele seperti sangat sulit untuk ditelaah oleh mereka yang jiwanya kosong dan kering kerontang.

Samamgat para santri lirik yang mendalami jiwa keagamaan di madrasah tempat mereka belajar, memberikan pengajaran estetik keagaamaan yang menarik,.._Semangat dan aktif dalam rutinitas penuh pesona_.

Pesona yang diungkap di akhir kalimat baris ketiga menjelaskan tentang kebenaran (kaffah) jiwa, raga, serta nilai-nilai kei-Ilahi-an bagi para santri yang meleburkan diri sebagai bentuk kepasrahan diri kepada-Nya.

Buku antologi ini memang menarik untuk dibaca. Karena nilai estetika yang dikemas dengan pemahaman jiwa keagamaan, begitu kuat untuk mendidik diri sendiri.

Di lembaran terakhir antologi, terdapat puisi Prasasti Lereng Sindoro. Mengapa tajuk puisi ini dipilih untuk menjadi judul antologi?

Meski barangkali bagi penyair sendiri pendapatnya tidak sama dengan pendapat saya sebagai penulis,  namun kekuatan isi dan kekayaan estetika, cukup untuk memberikan nilai ajaran ke diri sendiri (agama), pemahaman isi tentang alam, manusia, dan Sang Pencipta (Allah SWT).

DI alinea kedua kekuatan itu dijelaskan,.._Inilah janji setiaku//Janji nakhoda yang terkenal sejak zaman purba//Kapal adalah raga bagi nakhoda//Nakhoda adalah ruh bagi kapal//Keduanya adalah satu kesatuan//Yang tak dapat  dipisahkan_

Dari lirik-lirik puisi itu menjelaskan tentang kedalaman pemahaman atas nilai kehidupan. Sebab nilai kehidupan itu tak hanya sosok yang bergerak, tanpa memahami kaidah kehidupan itu sendiri, serta makan milik orang tanpa mengindahkan kepentingan orang lain.

Ini yang dinamakan akidah bagi akhlak dan moral kita sebagai manusia. Seperti janji dalam agama (Islam) adalah “utang” yang harus dilunasi.

Diwujudkan setelah janji diucapkan. Di bait kedua itu lirik-liriknya memaparkan soal kesetiaan pada janji. Janji seorang nakhoda tentang keharusannya menjaga diri dari perilaku yang tidak baik.

Sebab sebagai nakhoda ia sadar tentang nilai kepribadian yang harmonis dalam hidup dan kehidupan untuk menjaga kesantunan, akhlak dan moralitas manusia yang mampu membangun kesejahteraan bagi siapa pun.

Meski banyak kekuatan nilai di dalam 67 puisi yang beragam corak isi dan kekuatan estetikanya, namun sebagai seorang manusia pasti ada kekurangan yang terjadi.

Dalam puisi Gadis Berwajah Teduh terdapat kata _mukena_ (Balutan mukena putih..dst). Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia, harusnya ditulis mukenah. Tapi tak apa, itulah kehkilafan manusia  biasa yang tak pernah lepas dari kekeliruannya.

Antologi ini sangat mendidik. Bagi bagi kita untuk memahami nilai keagamaan (religi), nilai estetika, dan tipografi (bentuk) puisi. Selamat dan sukses ! (*)

Palembang, 22 September 2023