Nonton Pementasan Ha Iku di TIM
Laporan Yuni Tabriz
MALAM itu mendung mengepung langit Jakarta. Udara dingin. Cuaca lembab. Aku bergegas menuruni tangga Stasiun KA Cikini, Jakarta Pusat, dan berjalan kaki menuju ke TIM (Taman Ismail Marzuki), Jakarta Pusat.
Memang, malam itu sudah kutunggu-tunggu sejak sepekan sebelumnya, yakni malam pementasan Ha Iku di Gedung Teater Jakarta, 29 Desember 2024 oleh Teater Tanah Air pimpinan Jose Rizal Manua.
Ruang registrasi tiket masuk sangat ramai dikerumuni orang-orang yang berdesak untuk segera mendapatkan tiket masuk. Mereka tampak sangat antusias menunggu Ha Iku digelar.
Kebanyakan mereka anak-anak dan remaja. Namun, tidak sedikit juga orang- orang tua yang memang berniat ingin menyaksikan juga pementasan Ha Iku, meski mungkin ada juga di antara mereka sekadar mengantar anak-anak mereka menikmati liburan akhir tahun dengan sengaja menonton pergelaran Ha Iku oleh Teater Tanah Air.
Di ruang teater kulihat orang orang mulai tertib menduduki kursi masing masing. Aku sendiri duduk di kursi bagian tengah yang langsung menghadap panggung.
Sesaat kemudian, kulihat panitia sengaja mengosongkan beberapa bangku, yang agaknya disediakan buat para tamu khusus—yang diundang untuk hadir menyaksikan pementasan Ha Iku.
Ha Iku karya Putu Wijaya adalah pertunjukan visual yang dipersembahkan Teater Tanah Air yang diperankan oleh sekurang-kurangnya 30 anak yang menggunakan kostum putih-hitam.
Haiku—dipelesetkan sedikit menjadi Ha Iku—adalah sajak pendek Jepang yang hanya terdiri dari tiga baris, 17 suku kata yang padat, mendalam, dan—tentu saja—estetik.
Ha Iku dalam bahasa Jawa berarti: Ya Itu—seruan yang menunjukkan pesan lakon bahwa masa silam atau sejarah tidak boleh dilupakan.
Pementasan Ha Iku berlangsung gegap gempita, diiringi riuh tepuk tangan para penonton, serta teriakan-teriakan histeris— luapan kegembiraan anak anak dan remaja yang menyambut teman teman mereka yang berperan dalam pementasan Ha Iku malam itu.
Apalagi setelah mereka mendengar pembawa acara menyampaikan informasi bahwa Teater Tanah Air akan membawa teman-teman mereka ke sebuah festival di Jepang dengan mengusung tema persahabatan Indonesia-Jepang—informasi yang membuahkan kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri, tentu.
Saat acara tengah berlangsung, perhatian penonton sempat teralihkan kepada sosok yang datang tiba-tiba dan menempati bangku tepat di belakangku: Menteri Kebudayaan, Fadli Zon. Di sederetan bangku itu, duduk juga Adi Bing Slamet, dan bebeberapa tokoh terkenal lainnya. Bahkan, beberapa orang yang mengawal mereka ikut hadir di tengah tengah kami.
Namun, tak sampai pertunjukan usai, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyeruak menuruni tangga menuju ke atas panggung, ditemani Jose Rizal Manua selaku pimpinan Teater Tanah Air yang menyampaikan beberapa hal terkait kegiatan anak-anak masa kini.
Bahkan, Menbud sempat mengutip UUD 1945 pasal 32 yang mengamanatkan “Negara memajukan kebudayaan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai nilai budaya”.
Dengan kehadiran UU Pemajuan Kebudayaan, cita-cita pendiri bangsa agar Indonesia menjadi bangsa dengan masyarakat berkepribadian secara budaya, berdikari secara ekonomi, serta berdaulat secara politik, kini siap diwujudkan.
Dalam sinopsis pementasan teater itu dijelaskan bahwa periode 1942- 1945 adalah masa berdarah buat bangsa Indonesia.
Pengalaman sejarah itu, kata Menbud, harus selalu diingat. Bukan untuk melestarikan dendam dan rasa permusuhan, melainkan justru untuk menandaskan apa yang tak boleh dilakukan lagi, karena melanggar HAM (Hak Asasi Manusia).
“Selain, tentu ada pelajaran tentang apa yang perlu ditauladani dari pengalaman tersebut,” ujar Menbud.
Di akhir acara, tepuk tangan penonton bergemuruh, seolah pecahan kaca yang berhambur dari atas ruangan.
Bersamaan dengan itu, kertas warna- warni bertaburan di atas panggung. Sebagian penonton berhambur mendekati beberapa pemain, memberi ucapan selamat, bahkan ada yang memberikan karangan bunga, juga kepada Menbud Fadli Zon dan Jose Rizal Manua selaku pimpinan Teater Tanah Air.
Aku pun tak mau ketinggalan, ikut berswa-foto bersama mereka: klik klik klik. Masuk semua foto foto hasil jepretanku itu dan secara automatis tersimpan di galeri ponselku.
Berdesak di antara para penonton, aku pun melenggang pulang dengan perasaan puas dan bahagia. Tontonan yang luar biasa menghibur, terutama bagi anak-anak dan remaja.(*)