HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Gelar Adat dan Pernikahan Agung, Merawat Budaya Lampung di Ngambur

July 25, 2025 12:05
IMG_20250725_120406

Krui, Hatipena – Tanggal 23 Juli 2025 menjadi momen bersejarah di Kecamatan Ngambur, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Di bawah langit cerah, dua peristiwa adat besar digelar: pernikahan putra Sai Batin Marga Ngambur dan penganugerahan gelar adat tinggi. Lebih dari seremoni, acara ini menjadi panggung penting untuk menyuarakan pelestarian budaya Lampung yang terancam.

Acara diawali dengan kemeriahan pernikahan agung (Nayuh) putra Suttan Baginda Ratu. Sang putra mahkota, Gustian Sapta Ningrat, S.H. bin A. Rianda Farsiansyah, menyunting Liya, S.H. binti Pirlana..

Prosesi pernikahan dimulai dengan arak-arakan khidmat yang sarat simbol:

  1. Awan Geminser: Simbol kehormatan tertinggi dan ketinggian posisi Saibatin beserta keluarganya, melambangkan kemurnian martabat.
  2. Jejalan Andak: Kain putih melapisi tanah sepanjang jalur yang dilalui pengantin dan rombongan. Simbol kesucian pernikahan dan perjalanan hidup baru, sekaligus penanda status khusus keluarga Saibatin.
  3. Lalamak Titi Kuya Jambat Agung: Simbol pengabdian dan penghormatan paling menyentuh. Maknanya mendalam: telapak kaki Sang Pemimpin tidak boleh menyentuh tanah langsung, diinjakkan di atas alas dari pengabdian rakyatnya. Ini melambangkan kesetiaan, pengabdian total, dan kasih sayang tulus masyarakat terhadap pemimpin adatnya. Prosesi sakral ini menunjukkan hubungan erat pemimpin dan yang dipimpin dalam adat Saibatin.
    Arak-arakan berlangsung khidmat diiringi tabuhan gendang, gong, kelittang, dan syair adat, dengan peserta mengenakan busana adat Lampung Saibatin lengkap.

Acara dihadiri tokoh-tokoh penting, menambah kemegahan dan wibawa:
• Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pesisir Barat (menunjukkan dukungan pemerintah).
• Sai Batin Kepaksian Buay Bujalan di Way, H. Selayar Akbar Puspanegara, S.E., Ak., Gelar Suttan Jaya Kesuma IV (Suttan Sekala Beghak turunan ke-20, pemimpin tertinggi adat dari Kepaksian Buay Bujalan di Way) beserta istri, Ratu Ayu Kumala Jagat (memberikan legitimasi dan penghormatan tertinggi mengingat asal-usul Marga Ngambur).
• 15 Sai Batin Marga se-Kabupaten Pesisir Barat (menunjukkan solidaritas dan persatuan adat).
• Raja-Raja Lamban Gedung (pemimpin rumah adat penting).
• Masyarakat Ngambur (ribuan hadir, menunjukkan kecintaan dan dukungan).

Di tengah kemeriahan pernikahan, Suttan Baginda Ratu memimpin sidang adat menganugerahkan gelar kehormatan tertinggi kepada tokoh nasional putra Lampung, Irjen Pol (Purn) Dr. H. Ike Edwin, S.IK., S.H., M.H., M.M.

Berdasarkan musyawarah adat dan pertimbangan jasa, dedikasi, serta integritas beliau, Sai Batin Marga Ngambur menganugerahkan gelar Penyimbang Marga Tuha Raja Lampung. Gelar bersejarah ini, sering dikaitkan dengan Negara Batin Way Kanan Pihak Kelamo, merupakan penghormatan tertinggi dan pengakuan atas peran beliau melampaui batas marga. Secara spesifik, menegaskan perannya sebagai pemangku/pemelihara kemuliaan dan kelestarian adat Lampung secara keseluruhan.
Prosesi dilakukan dengan tata cara lengkap: Dang Ike Edwin (sebutan hormat) berbusana adat kebesaran, disumpah adat, lalu Sai Batin secara resmi menyematkan gelar disertai pembacaan piagem adat.

Usai menerima gelar, Penyimbang Marga Tuha Raja Lampung, Dang Ike Edwin, menyampaikan pidato berisi kegelisahan dan seruan mendesak tentang ancaman kepunahan budaya Lampung.

“Mungkin 30 tahun ke depan,” ujarnya prihatin namun tegas, “kita tidak akan lagi melihat semangat gotong royong masyarakat adat dalam acara penayuhan (pernikahan) seperti sekarang. Tradisi memasak bersama dengan kayu bakar, di mana seluruh warga bahu-membahu mempersiapkan hidangan, perlahan akan menghilang.

Begitu pula kebiasaan tuan rumah mempersiapkan kayu bakar jauh-jauh hari untuk penayuhan, mungkin hanya akan menjadi cerita masa lalu.”
Pernyataan ini menggambarkan erosi budaya nyata. Pergeseran nilai, modernisasi, dan perubahan gaya hidup menggerus tradisi gotong royong (cangget, sambayan) yang menjadi tulang punggung kehidupan sosial dan upacara adat Lampung. Dang Ike Edwin menekankan tanpa upaya serius dan kolektif, nilai-nilai luhur kebersamaan dan kearifan lokal itu akan punah.

Kekhawatiran serupa ditegaskan oleh otoritas adat tertinggi yang hadir, Sai Batin Kepaksian Buay Bujalan di Way, Suttan Jaya Kesuma IV.

“Menjaga warisan leluhur, memelihara adat istiadat, dan meneruskan nilai-nilai luhur budaya Lampung kepada generasi penerus adalah amanah berat di zaman sekarang,” tegasnya. “Ini tugas kita bersama – seluruh masyarakat Lampung, termasuk pemerintah daerah.”

Ia secara khusus menyampaikan harapan besar kepada Bupati dan Wakil Bupati Pesisir Barat yang hadir: agar Pemerintah Kabupaten mengambil peran aktif dan memprioritaskan pelestarian budaya Lampung dari kepunahan.

Bentuknya bisa berupa muatan lokal budaya dalam pendidikan, dukungan dana/fasilitas untuk kegiatan adat dan pelatihan tradisi (menenun tapis, musik, tari, bahasa), dokumentasi kearifan lokal, insentif pelaku budaya, hingga integrasi nilai adat dalam pembangunan. Suttan Jaya Kesuma IV menekankan budaya adalah identitas dan pondasi karakter masyarakat.

Acara yang sarat makna ini ditutup dengan tradisi makan bersama (makan bejambangan). Hidangan khas Lampung disajikan, menjadi simbol persaudaraan (sakai sambayan), persatuan, dan syukur, sekaligus mengingatkan pada semangat gotong royong yang diperjuangkan kelestariannya. (*)