Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Prof. Dr. Wahyu Wibowo: Puisi Lasman Simanjuntak Bergulat dalam Sepinya

January 6, 2025 05:33
Prof. Dr. Wahyu Wibowo, Dosen Filsafat Bahasa, Unas, Jakarta, ketika menjadi narasumber peluncuran buku antologi puisi di kawasan Depok, Jawa Barat, belum lama ini (Foto: Lasman Simanjuntak)
Prof. Dr. Wahyu Wibowo, Dosen Filsafat Bahasa, Unas, Jakarta, ketika menjadi narasumber peluncuran buku antologi puisi di kawasan Depok, Jawa Barat, belum lama ini (Foto: Lasman Simanjuntak)

Jakarta, Hatipena – “Manusia sepi Pulo Lasman Simanjuntak jangan memaknai ungkapan ini secara benar begitu adanya. Dalam proses kreativitasnya, ia cenderung bergulat dalam sepinya. Manusia sepi yang tak hentinya berefleksi tentang hidupnya,” ujar Prof.Dr.Wahyu Wibowo, Dosen Mata Kuliah Filsafat Bahasa di Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Nasional (Unas) di Jakarta, Minggu (5/1/2025) malam.

Pada awal tahun 2025 ini, Prof.Dr.Wahyu Wibowo-yang juga dikenal sebagai penyair dan sastrawan angkatan 2000 ini- mencoba menyoroti dan ‘kritisi’ terhadap sejumlah karya sastra (baca: puisi/sajak-red) Penyair Pulo Lasman Simanjuntak (63) yang juga dikenal sebagai wartawan dan rohaniawan.

“Yang mesti dibaca dalam rangka menonjolkan refleksinya dari ihwal yang ditangkap oleh pancainderanya,” ujar penulis 50 judul buku yang pada tahun 1980-an menjadi Ketua Bengkel Sastra Ibukota (BSI) dan mengikuti ajang Festival Penyair Muda 1982 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta ini.

Itu sebabnya, lanjut Prof.Dr.Wahyu Wibowo, penyair Pulo Lasman Simanjuntak bisa produktif menulis puisi.

“Tanpa peduli apakah pembacanya bisa mencernanya dengan mudah,” ucap pria kelahiran Kampung Serdang, Kemayoran, Jakarta Pusat, 8 Maret 1957 ini.

Ketidakpeduliannya itu mohon dibaca tidak dalam rangka meraih “litentia poetica”, sebagaimana kerap dituduhkan orang jika hendak membela seorang penyair yang puisinyanya “tidak berbicara apa-apa”.

“Pada puisi Pulo Lasman Simanjuntak tetap saja terlihat dengan jelas betapa ia hendak mengatakan sesuatu, betapa pun ia harus terengah-engah mengatakannya,” kilah kritikus yang ikut membidani terbitnya buku “Aliran Kritik Sastra Sawo Manila” (1987) ini.

Pada puisinya berjudul, “Ulang Tahun Membaca Suara Tuhan”, sebagai contoh, Pulo Lasman Simanjuntak kentara menegaskan bahwa lelah hidupnya ternyata tidak membuatnya diundang pada “mimpi purbanya” tentang eksistensi Tuhan.

Ia selalu merasa “terjebak dalam sebuah permukiman liar”, yang selalu dibanjiri air mata. Ia selalu berharap bahwa ia memang mesti selalu bergerak dalam kesakitan panjang, sementara usia terus saja beranjak.

“Pilu memang membaca puisi karya Pulo Lasman Simanjuntak. Dan, kepiluan itu melalui daya perlokutif tertentu mampu bersifat universal. Lasman Simanjuntak memang manusia sepi yang tak hentinya berefleksi tentang hidupnya,” pungkasnya.

Sejak tahun 1980-an karya puisi Prof.Dr.Wahyu Wibowo telah diterbitkan dalam buku antologi puisi “Liang Luka” (1989)- ” Mata Sembab” (1991)- dan “Cinta Batu, Batu Cinta (1992). Ia juga menulis buku ilmiah mengenai jurnalistik, bahasa, sastra, dan kepenulisan pragmatik, yang rata-rata mengalami cetak ulang.(A-1)