Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Seabad A.A Navis – Sastrawan Besar yang Kritis dan Peduli

March 25, 2025 17:25
IMG-20250325-WA0107

HATIPENA.COM – Setelah sukses dengan acara merayakan Seabad Pramoedya Ananta Toer, Toko Buku Natan bersama Program Magister Sastra UGM kali ini merayakan acara Seabad A.A Navis. Beliau dikenal sebagai sastrawan besar dalam jagat sastra tanah air.

Namanya melegenda melalui karya-karya cerpennya, salah satu yang dikenal luas berjudul “Robohnya Surau Kami”. Di bulan Ramadan yang berbahagia ini, para pecinta buku telah berkumpul untuk membicarakan kiprah dan karyanya.

Acara yang berlangsung di Rumah Budaya NDalem Natan, bangunan pusaka/cagar budaya di Kotagede, Yogyakarta diisi oleh Dhianita Kusuma Pertiwi (penulis, kurator pameran AA Navis di Jakarta dan UNESCO, Paris), Prof. Dr. Aprinus (Pakar Sastra) dan Nasir Tamara Ph.D. serta penampilan cello dari Lintang Pramudia Swara.

Acara juga mencakup peluncuran buku “Kesalahan dan Kejahatan dalam Berbahasa” karya Aprinus Salam. Dalam Sumpah Pemuda tertulis: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Sayangnya sumpah ketiga itu yang kurang diperhatikan.

Berbeda sekali dengan negara-negara Barat terutama Perancis yang memiliki Académie Française yg mengawal nasional mereka.

Buku ini sangat penting untuk dibaca oleh para penulis dan kreator konten.
Nasir Tamara juga meminta agar Kementerian Kebudayaan RI membuat program berupa pendampingan para penulis Indonesia yang mempunyai potensi untuk memenangkan Hadiah Nobel Kesusasteraan.

Aprinus Salam membandingkan sikap kritis A.A. Navis dengan Pramoedya Ananta Toer. A.A Navis tidak pernah dipenjara sedangkan Pram pernah dibuang ke Pulau Buru belasan tahun. Alasannya mungkin karena A.A Navis mengkritik masyarakat sedangkan Pram mengkritik pemerintah Orde Baru.

Dhianita memaparkan proses risetnya dalam menyiapkan pameran 100 tahun A.A Navis, berupaya untuk mengenalkan kembali sosoknya supaya makin diketahui oleh anak muda. Dari proses riset itu, Dhianita menelusuri bagaimana semasa sekolah di INS Kayutanam, Navis mempelajari musik. Ia menguasai instrumen flute, dan pernah juga belajar membuat patung.

Keterampilan nonakademis menjadi bagian penting yang dimiliki oleh kurikulum sekolahnya dan banyak membentuk pola pikirnya. Menyelenggarakan pameran menjadi tantangan tersendiri karena yang tersedia adalah arsip foto dan tulisan.

Dhianita dan tim berupaya mengemasnya agar tetap menarik anak muda, supaya kumpulan materinya tidak hanya menjadi arsip mati, namun dapat dinarasikan dengan baik dari segi historis, pemikiran dan karya-karyanya.

Acara dilanjutkan dengan diskusi terbuka bersama pembicara dan teman-teman pencinta buku.
Penyair Afnan Malay membacakan sebuah karyanya yg terbaru berjudul ‘Babi’.

Nasir Tamara sendiri membacakan Gurindam 12 karya klasik Raja Ali Haji yang penuh dengan pesan-pesan moral.

Dalam kegiatan tersebut dipamerkan juga 11 lukisan para penulis dan pemikir dari Minangkabau yang telah memberi sumbangan penting tentang Ke-Indonesian. Di antara mereka ada Bung Hatta, Sjahrir, H. Agus Salim dan Tan Malaka.

Acara yang penuh keakraban diakhiri dengan takjil dan berbuka bersama.(*)

(Kontak: Lintang 0895-3222-75690)