By: Bambang Oeban
HATIPENA.COM – Di negeri yang terbakar, di jalan-jalan penuh jerit dan bara, orang-orang berlarian dengan wajah arang, rumah-rumah jadi abu, pasar-pasar jadi puing, dan darah menetes dari langit hitam.
Asap membumbung, mencetak bayangan hitam di dinding kota, suara sirine bercampur lolongan anjing liar, sementara di lorong sempit ada sosok berdiri tegak dengan mata kosong—itulah bayangan Getih Ireng yang menunggu tanggal enam belas, bulan Oktober yang terkutuk.
Demo meledak, ban-ban terbakar bagai altar persembahan, teriakan mahasiswa menjadi mantra, namun dari tengah kerumunan, aku melihat wajah tanpa kulit, menyeringai, seolah ikut bersorak, seolah darah rakyat menjadi tumbal dari pesta kekuasaan.
Para pejabat tertawa dengan jas licin dan perut gendut, uang mengalir bagai sungai busuk, korupsi menari di meja rapat, sementara rakyat hanya punya nasi basi dan janji basi. Namun dari celah malam, film itu lahir. Film yang disiram darah, film yang berjudul Getih Ireng.
Aku menuliskan rangkaian syair ini dengan jari gemetar, karena ada roh yang ikut membaca, ada mata yang mengintip dari balik layar, ada aroma besi berkarat yang menyeruak dari kata-kata.
Film horor di negeri ini—sering dianggap sekadar pelarian, sekadar candaan ketakutan, sekadar tubuh perempuan berpakaian minim yang berlari menjerit tanpa arti. Tapi Getih Ireng berbeda. Ia lahir dari luka bangsa, dari darah yang benar-benar menetes ke tanah, dari jerit yang tak pernah selesai, dari jiwa-jiwa yang menuntut balas di perempatan jalan penuh api.
Bayangkan …, bioskop gelap, penonton duduk berdesakan, popcorn jatuh berserakan. Tiba-tiba layar menyalakan wajah pucat, mata membelalak, kepala terpenggal, dan di antara jeritan penonton, ada satu suara lain yang bukan berasal dari film, melainkan dari kursi kosong di pojok: seorang perempuan tanpa kaki tertawa panjang … suara itu merayap sampai ke dada, Itulah Getih Ireng—bukan sekadar tontonan, melainkan undangan, ritual untuk membuka pintu dunia lain.
Di balik kamera, sutradara berkeringat dingin, aktor-aktris bermimpi buruk setiap malam, make-up artist menemukan darah asli bercampur dengan cat merah, sementara produser menghitung hitung apakah film ini bisa tembus box office, apakah bisa melewati kutukan 300 ribu penonton yang sulit ditembus di negeri yang rakus hiburan murah namun pelit apresiasi.
Namun ada janji: jangan pernah pesimistis! Film ini ditulis dengan darah, diproduksi dengan nyawa, dikerjakan dengan doa. Maka kutukan harus dipatahkan, Optimisme harus dijaga, karena Getih Ireng bukan sekadar film, ia adalah perlawanan.
Ketika api demo padam, ketika jarahan berhenti, ketika kota seolah tenang, roh-roh itu masih berkeliaran, menagih janji yang pernah dilanggar. Di kursi bioskop, kau akan duduk berhadapan dengan dirimu sendiri, apakah kau ikut bersalah karena membiarkan negeri ini hancur, atau kau masih setia pada tanah yang menumbuhkanmu?
Film ini bukan sekadar horor, tapi cermin, cermin berdarah, yang memantulkan wajahmu—apakah manusia atau monster?
Malam sebelum penayangan, aku bermimpi. Aku berjalan di jalanan kosong, asap masih menggantung, dan di tengah jalan, ada bendera merah putih robek, basah oleh darah segar.
Aku mendekat, dan bendera itu berbisik: “Film ini bukan hiburan, film ini pengingat, film ini doa, film ini dendam.” Aku terbangun dengan jantung berdebar, karena aku tahu roh Getih Ireng sedang mengetuk pintu bioskop-bioskop seluruh negeri.
Akan ada tawa, akan ada jerit, akan ada penonton yang tak sanggup bertahan, akan ada kursi kosong yang tiba-tiba terisi, akan ada bayangan yang tak pulang bersama kita. Tapi film ini harus ditonton, harus disambut, harus dirayakan, karena hanya lewat darah dan horor kadang bangsa ini bisa berkaca.
Maka aku berpesan pada seluruh pendukung: produser jangan takut, sutradara jangan gentar, aktor aktris jangan goyah, crew jangan menyerah. optimisme adalah mantra, optimisme adalah cahaya di tengah bioskop yang gelap.
Getih ireng bukan sekadar judul, ia adalah sumpah. Darah yang tumpah ke bumi akan menjadi saksi, akan memanggil jutaan penonton, akan mengalirkan energi hingga layar tak sanggup lagi menampung. Semoga box office, semoga banjir penonton, semoga jadi legenda, karena film ini lahir bukan dari mimpi, melainkan dari ngeri.
Dan kelak, ketika orang-orang keluar dari bioskop dengan wajah pucat, dengan tangan gemetar, dengan mimpi buruk yang akan menghantui berhari-hari, mereka akan sadar: film ini bukan sekadar tontonan, tapi pesan horor mencekam bahwa negeri ini
tak bisa terus dikhianati. (*)
Dari Timur Bekasi, Selasa 16/2025/09.09