Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Menghibur Diri dengan Jumbo

April 23, 2025 19:29
IMG-20250423-WA0017

Film Animasi Indonesia

Jonminofri Nazir

HATIPENA.COM – Saya menonton film Jumbo karena empat alasan. Alasan ini saya kumpulkan dari berita di media dan karena mendengar wawacanda Cing Abdel dengan Ryan Adriandhy. Satu lagi karena sejak lama Naga sudah bercita-cita jadi animator.

Secara tidak sengaja di timeline saya muncul berita bahwa tiket Jumbo terjual satu juta lembar dalam tempo singkat. Ini luar biasa. Tidak banyak film lokal, apalagi film animasi, terjual dengan angka seperti ini. Ketika saya menonton tgl 15 April kemarin, jumlah penonton sudah lebih dari angka 3 juta.

Alasan kedua, saya menyimak wawancanda Ryan Adriandhy (sutradara Jumbo) dengan Cing Abdel (rupanya diproduksi Desember tahun lalu, ketika film belum selesai diproduksi seluruhnya). Saya memang senang menonton wawancara, termasuk dengan komedian. Saya tidak menyangka bahwa Jumbo disutradarai oleh seorang komedian.

Di paruh kedua wawancanda tadi, Ryan bicara tentang Jumbo yang dibuat oleh 100 animator Indonesia. Semula saya tidak tahu bahwa Ryan aslinya adalah seorang animator, dan mendalami animasi di sebuah kampus di kota dekat New York. Dalam wawancara itu, Ryan mengungkapkan proses pembuatan Jumbo yang menarik banget buat saya

Alasan ketiga, saya membaca ulasan tentang Jumbo di media online. Termasuk tulisan rekan pengurus Satupena @Amelia, yang membawa anak, ponakan, dan nenek anaknya menonton Jumbo. Komentar Amel: film Jumbo ini bagus dan bisa dinikmati oleh semua umur. Kutipan yang melekat di hati Amel: jika ingin menjadi pencerita yang baik harus jadi pendengar yang baik dulu.

Alasan keempat, cucu saya bernama Naga bercita-cita menjadi animator. Dia pandai menggambar. Karya dia pernah saya cetak di atas kaos hitam dan saya pakai ke mana-mana. Hari Jumat 11 April kemarin, dia memperlihatkan slide presentasinya di kelas: “Cita-Citaku jadi Animator”. Untuk siswa kelas 6, saya nilai presentasinya bagus. Dia menjelaskan apa itu animasi, contoh karya dia, dan dia menyebutkan Ryan sebagai animator yang dikaguminya. Dia memasang foto Ryan Adriandhy di lembar presentasi itu

Kemarin saya menonton, bersama Naga, Adri, dan mamanya. Saya ingin tahu bagaimana reaksinya setelah menonton Jumbo.

–00–

Film animasi Jumbo diproduksi selama 4 tahun, dengan durasi 100 menit. Bandingkan dengan film Avatar yang selesai 7 tahun. Lebih panjang dari masa sekolah dasar, yang enam tahun.

Satu detik animasi membutuhkan 24 frame atau 24 gambar. Film berdurasi 100 menit membutuhkan 100x60x24 frame atau 144.000 gambar. Jumlah itu belum termasuk gambar yang salah atau tidak terpakai.

Tentu saja membuat gambar sebanyaki itu bisa dibantu dengan komputer, tetapi bukan berarti pekerjaan animator menjadi mudah. Karena itu, Jumbo menyerap 100 orang jago gambar animasi untuk merampungkannya.

Para animator ini baru bisa bekerja jika dialog para pengisi suara sudah direkam dalam bentuk VO (voice over). Jadi, langkah pertama dalam membuat film animator adalah narator membaca (dan merekam) naskah cerita, seperti para pemain sandiwara radio. Pekerjaan sulit bagian pertama ini diselesaikan oleh Ariel Noah, Bunga Citra Lestari, serta para pemain muda Prince Poetiray, Quinn Salman, dan Muhammad Adhiyat.

Kerumitan berikutnya terjadi pada saat para animator menempelkan suara itu di masing-masing karakter kartun. Tentu saja pada saat ini para animator harus menyesuaikan ekspresi wajah karakter kartun dengan suara. Jika ada suara berteriak, ekspresi tokoh kartun itu juga memasang muka berteriak. Suara kaget, dipasang pada muka kaget. Kalau dia kaget dua kali, tentu ekspresi kagetnya tidak sama di kedua adegan itu. Dan seterusnya. Bayangkan, jika ada suara teriakan tapi gambarnya orang nangis, mungkin bioskop langsung ditinggalkan penoton.

Kita ringkas saja pekerjaan selanjutnya, yaitu memberi warna pada lembaran gambar animasi, angel kamera, pencahayaan, dan render video. Walaupun sebagian pekerjaan ini tergolong teknis, namun sangat menyita waktu dan membutuhkan spek komputer yang tinggi. Dan sialnya, komputer seperti ini tidak banyak di Indonesia. Bandingkan dengan perusahaan film Pixar Animation yang mempunyai belasan komputer raksasa hanya untuk pekerjaan rendering ini. Sekali lagi, hanya di satu perusahaan

–00–

Kita bisa berdebat tentang cerita film ini. Apakah mudah dicerna atau tidak. Yang jelas dua cucu saya, yang satu lagi kelas 2 SD, matanya tidak lepas dari layar lebar. Ini pertanda bahwa dia menikmati film ini. Setelah berada di rumah, dia bisa menyebutkan tokoh dalam film tersebut satu per satu. Juga menceritakan adegan dalam film tersebut.

Bagi saya itu cukup membuktikan bahwa dia senang menonton film ini dan memahami ceritanya.

Ada beberapa hal yang membuat mereka senang pada film ini:

Gambar dan animasi tokoh serta unsur lain dalam film ini bagus sekali. Cerah, warnanya menarik perhatian anak-anak. Kesannya gambar tersebut 3 D, ada dimensinya. Beberapa film kartun lain, terkesan dua dimensi saja. Jadi dalam hal ini jumbo berbeda.

Selain itu, semua tokoh digambarkan berwajah gembira, sehingga enak dilihat. Hal itu tampak pada bagian mata. Semua tokoh dalam film animasi ini memiliki mata besar dengan bola mata bulat besar dan dikelilingi warna putih. Gambaran mata seperti ini mewakili wajah orang gembira. Jika ada adegan menangis, animator mengecil kan sedikit ukuran mata, menambahkan airmata, serta mimik sedih. Tapi, pada dasarnya, wajah itu masih sedap dilihat. Pada dasarnya, setiap anak –juga orang dewasa– lebih senang melihat wajah orang gembira ketimbang wajah sedih.

Nah, persoalan berikutnya adalah soal sosok ayah-bunda yang telah mati muncul kembali dalam bentuk “arwah”, dan hanya terlihat oleh si Jumbo bernama Don. Ini wilayah debat. Jangan-jangan hal ini salah satu daya tarik kuat Jumbo: sesuai dengan kepercayaan dan tradisi di Indonesia bahwa orang mati arwahnya masih bisa berkomunikasi dengan orang berkelebihan khusus.

Di Jumbo kelebihan khusus itu dibantu dengan sebuah alat bikinan abangnya Atta, radio FM tua yang bisa memancarkan gelombang radio, dan diujung gelombang itu arwah ayah bunda mereka muncul. Dalam hal ini si Jumbo dari Meri adalah dua tokoh yang sudah kehilangan orang tua mereka.

Penggunaan alat dari barang tua (dan bekas) ini mengingatkan saya pada film ET. Si Alien lucu itu merakit alat untuk berkomunikasi dari barang rongsokan juga, yaitu antena tua, dan barang-barang bekas lainnya.

Saya menduga di adegan ini anak-anak berkhayal tentang “penciptaan alat” yang bisa membantu mewujudkan keinginan mereka.

Tentu saja ada kejutan di akhir film. Bagian ini adalah kue lezat bagi yang menonton ke bioskop.

Saya sendiri ingin menonton sekali lagi untuk memperhatikan bagian lain yang lebih detail dari film ini. Setidaknya untuk menikmati animasinya yang super keren.

Ayo, beli tiket. Datang ke bioskop.

[23/4 09.35] Yusrizal Karana: Al-Ghazali dan Filsafat Pelipur https://hatipena.com/artikel-opini/al-ghazali-dan-filsafat-pelipur/
[23/4 09.50] Haris: