Ananda Sukarlan *)
Menyongsong Hari Asperger’s Syndrome Sedunia, 18 Februari
HATIPENA.COM – Siapa pun yang menyandang disabilitas di dunia ini tidak boleh terhalang berkesenian, baik melukis, bermusik, menulis hingga menari untuk mengekspresikan diri. Keyakinan itu yang mendorong saya menulis esai ini. Disabilitas fisik maupun mental dapat membatasi seseorang dari mencapai target sehari-hari tetapi itu tidak menghentikan mereka dari menjalani kegiatan sehari-hari, jika mereka berbakat dalam bidang seni.
Masalahnya, kebanyakan orang lebih mudah memiliki prasangka dan menghakimi daripada mencoba memahami isu disabilitas.
Ketika anda melihat seseorang yang berinteraksi dengan dunia dengan cara yang berbeda dari mereka yang menganggap dirinya “normal”, anda cenderung mengabaikan apa yang mereka katakan dan lakukan. Seni adalah bentuk ekspresi yang dapat membimbing penerimaan diri dan membantu individu berbagi sudut pandang unik mereka dengan dunia.
Siapa pun berhak menjadi seniman. Kalimat ini sebagian benar, tetapi untuk menjadi seniman tulen, seseorang harus berkreasi menggali dalam jiwanya dan melepaskan rasa tidak aman dan takut mereka. Mereka yang berbicara melalui seni yang (seharusnya) bebas dari batasan (artistik atau sosial) dapat berkembang dan menciptakan sesuatu yang luar biasa.
Sebagai seorang yang telah terdiagnosa dengan Sindrom Asperger, saya selalu memiliki ketertarikan yang besar terhadap individu dengan neurodiversitas. Saya ingat merasakan beberapa kurikulum di sekolah dasar dan menengah sulit saya pahami. Saya ingat ketika sekolah saya menguji IQ para muridnya, hasil saya adalah “tidak ada yang salah dengan saya” dan bahwa saya “harusnya berprestasi baik di sekolah. Hanya saja dia kurang fokus, atau mungkin kurang rajin (baca : malas).”
Orang dengan neurodiversitas cenderung melihat dunia dari sudut pandang yang unik, dan sering kali berkembang dalam ruang yang lebih kreatif di mana kami dapat membentuk jalan kami sendiri dan mengekspresikan diri kami tanpa konsekuensi negatif.
Musik merupakan jalan keluar utama bagi saya saat tumbuh besar. Saya merasa mudah merangkai frase-frase musikal, menuliskan apa yang merefleksikan pikiran saya dan apa yang saya lihat / alami. Ketika saya menyadari betapa seni telah membantu dalam hidup saya, saya mulai bertanya-tanya berapa banyak orang lain dengan disabilitas mental yang bisa menggunakan seni sebagai cara untuk lebih memahami diri mereka sendiri dan dunia.
Sekarang saya punya misi untuk menyuarakan tentang spektrum autisme. Seni adalah cara bagi orang-orang dengan autisme dan neurodiversitas lainnya untuk menunjukkan pandangan dan emosi individualnya yang terkadang diabaikan dan dikesampingkan oleh masyarakat. Padahal ketika orang berpikir secara berbeda, dan belajar cara mengekspresikannya, kejeniusan dapat lahir, dan itu dapat membuka mata dan pikiran masyarakat tentang hal-hal yang tadinya tidak terpikirkan padahal berguna untuk kemajuan umat manusia.
Meskipun saya telah memulai penelitian saya dengan gagasan tentang betapa efektifnya seni bagi individu yang merasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan pakem-pakem dan etika masyarakat yang kaku, saya tidak pernah menyangka betapa banyak saya bisa belajar tentang pentingnya ekspresi diri.
Kebanyakan seniman neurodiverse dan berkebatasan fisik adalah mereka yang bebas dari prasangka, terbuka ke semua orang dan memberi ruang bagi kreativitas seberapa pun liarnya.
Komunitas ini merangkul banyak nilai yang tampaknya sering kali tidak dimiliki atau ditolak oleh masyarakat karena ada rasa solidaritas dalam “dipinggirkan” karena berbeda.
Saya ingin meningkatkan kesadaran tentang dampak seni terhadap individu yang kesulitan berkomunikasi, belajar, atau mengekspresikan diri. Seni adalah bahasa universal, bentuk penyampaian yang dapat membangkitkan emosi.
Melalui seni, orang-orang dengan autisme, sindrom Down, cerebral palsy, dll., dapat mengungkapkan kepada orang lain bagaimana kami melihat dunia dan membantu masyarakat lebih memahami kami dan kejeniusan kami (ini bukan bentuk kesombongan; saya percaya bahwa semua orang itu punya kejeniusan dalam satu atau dua bidang). Saya yakin para seniman memiliki pesan yang luar biasa untuk disampaikan dan lewat karya seni dapat membantu membentuk ulang gagasan kita tentang kehidupan.
Para sesama Aspie (panggilan untuk kami penyandang Asperger’s Syndrome) seperti Elon Musk, aktor Anthony Hopkins, sutradara Tim Burton atau pencipta video game Pokemon, Satoshi Tajiri telah membuktikan bahwa kaum Aspie bisa berhasil, jika diberi kesempatan. Baca deh tulisan saya
Saya sangat berterima kasih atas banyak pengalaman apa pun yang diberikan orang lain, baik dengan ataupun tanpa disabilitas kepada saya sebagai seorang seniman untuk memahami hidup ini. Untuk itu nanti tanggal 20 Februari nanti, bersama Rotary Club (yang telah memberi saya kehormatan sebagai Honorary Member tahun 2023 lalu) saya ingin menyampaikan tentang kendala yang dihadapi oleh para penyandang disabilitas, baik dalam hal berpartisipasi dalam maupun menonton seni.
Saya juga akan berbagi beberapa pengalaman pribadi saya. Acara ini akan berupa talkshow bersama saya dan Prita Kemal Gani pendiri London School of Public Relations (ibu dari seorang anak autis yang karya lukisnya luar biasa), juga konser dengan penjelasan bagaimana mereka dengan keterbatasan fisik dapat memainkan karya tersebut.
Selama acara, pelukis yang saya kagumi, sesama penyandang Sindrom Asperger, Anfield Wibowo akan melukis. Ayah Anfield, yaitu Mardonius Tri Tjahyo Adi (Doni) juga akan ikut membagikan pengalamannya tentang anaknya yang jenius ini. Acara untuk memperingati Hari Sindrom Asperger Sedunia, 18 Februari ini juga dilengkapi dengan makan malam bersama, di mana kita bisa mengobrol lebih intim dan bertanya apa pun kepada siapa pun.
Para penyandang disabilitas di banyak negara masih sering tersandung hambatan, termasuk tidak dapat diaksesnya banyak gedung publik, kurangnya dukungan seperti asistensi petugas, dan kelangkaan pilihan transportasi umum yang layak.
Mengapa penyandang disabilitas sering diragukan kemampuannya untuk berpartisipasi di dunia seni? Pertama adalah adanya fenomena yang dikenal sebagai “terapi seni”. Terapi seni masih merupakan cara yang sangat efektif untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mental dan/atau fisik di rumah sakit atau sejenisnya, tetapi terapi ini memiliki beberapa efek negatif pada penyandang disabilitas yang ingin berkarier sebagai seniman.
Masalahnya terutama bersifat simbolis. Jika penyandang disabilitas berpartisipasi dalam seni, biasanya hal itu dianggap hanya sebuah bentuk terapi, dan oleh karena itu, seni apa pun yang dibuat oleh penyandang disabilitas di luar konteks ini kurang dianggap.
Bisa dibilang, mengingat masalah saat ini dengan akses ke masyarakat pada umumnya bagi penyandang disabilitas, terapi seni mungkin merupakan satu-satunya cara partisipasi sejati bagi mereka. Menurut saya, ini hanya sebagian kecil dari masalah.
Yang saya lihat sebagai masalah yang berkaitan secara khusus dengan industri seni adalah bahwa pelaku seni yang menyandang disabilitas tidak dianggap “bisa dijual” (senimannya, bukan karyanya). Industri seni, dibandingkan dengan industri lainnya, sering didasarkan pada pencitraan.
Anda harus memiliki penampilan yang tepat untuk mendapatkan pekerjaan, dan penampilan yang tepat biasanya bukan merupakan disabilitas fisik. Sampai saat ini belum ada artis dengan disabilitas yang telah mencapai puncak seperti para boyband Korea atau artis Hollywood.
Musik pernah punya zaman keemasan, di saat orang yang tidak cantik atau ganteng masih “diperbolehkan” bermusik. Ganteng atau tidak, saya kini merasa bahagia masih bisa bermusik, dan bangga justru karena saya “berbeda” yang artinya tidak biasa atau luar biasa. Ga bosan ya kalian jadi biasa-biasa aja terus-terusan seumur hidup? (*)
*) Pianis dan Komponis