Edy Samudra Kertagama
Ingatkah engkau tentang cincin berwarna keperakan mengalirkan hujan deras, lalu berubah jadi semak hijau penuh aroma madu.
Embun menyelimuti, dan aku jatuh cinta ke sinar panas yang membidik di pagi bising, dalam kesunyian terik matahari serta bunga kamelia yang sudah menunggu lagu bahagia yang baru.
Pada langit, aku berharap episode nyala api datang di malam merah terang dengan cahaya bintang-bintangnya. Meskipun harus ada sunyi di antara aroma bunga yang berguguran di bibir malammu.
Tungggu aku di waktu malam, aku akan masuk ke ruang-ruang untuk menemukan kebohongan yang penuh mega warna-warni meski harus kulihat ada pesona yang bersemayam di tubuhmu.
Seperti sebuah pikiran yang mengembara jatuh di bawah kegelapan, lalu mabuk oleh ciuman tanganmu, kemudian menyeretku menuju apa yang tak pernah kutahu. “Apakah saat itu engkau telah mengambil panca inderaku, sampai-sampai harus kuminum ramuan empedu”
Entahlah, karena matahari dengan matanya yang terbuka telah memuaskan cintamu dengan ciuman yang dalam, panjang, dan senyap.
Kemarilah burung kecilku dan terbanglah di antara hamparan batu di sekelilingmu. Lalu hisap aroma debu yang tampak saling bertukar dahaga, dan jangan biarkan nafas dinginmu kau lupakan, karena pergantian malam ingin sekali meremukkan sekuntum bunga yang sedang bermekaran.
Undangan telanjang dari matahari membuat sinarnya terburu-buru membuka jendela, hingga segala kicau burung, hanya tinggal sementara waktu untuk membelai wajahmu.
Sepi datang lalu masuk melalui pintu rusak, sampai tak ada lagi yang mau datang untuk berkunjung, bahkan seekor kucing pun.
Air mata jatuh dari jendela, tampak hilang tangan yang membukanya, barangkali saat itu telah sampai kenangan darimana ia datang.
Maka pergilah kunang-kunangku, pergilah! Lupakan pernikahan dan kelahiran yang kau tak tahu itu, lalu nikmatilah liburanmu yang penuh aroma madu bersama detak jantung lebah yang sering menyendiri dan bebas dari setiap yang bergetar.
Kau memang milikku, seperti laut pasang surut dan perlukah saat ini kuulangi lagi kata-kataku, jika aku mencintaimu ketika bisikan bibirku menabrak bibirmu.
Mungkin aku tersesat dengan membawa sumpah ke dalam pelukan, saat aku mabuk untuk menghangatkan tubuh pada kedua buah dadamu yang telah menipuku. (*)
Lampung, 2025