Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Anfield, Artistik dan Asperger

February 3, 2025 16:04
IMG-20250203-WA0091

Laporan Rizal Pandiya

HATIPENA.COM – Sutradara film ternama Federico Fellini pernah berkata: “Semua karya seni bersifat autobiografis. Mutiara adalah autobiografi kerang”. Mutiara tercipta dari ketidaknyamanan dan rasa sakit, dan seni adalah usaha seniman untuk meredakan rasa sakit yang ditimbulkan baik dari dalam maupun luar tubuh kita.

Dan itulah sebabnya sebagian besar seniman besar pada dasarnya rapuh secara emosional, entah itu karena depresi, gangguan mental, atau pola asuh yang rusak (misalnya, broken home di masa kecilnya).

Seni berfungsi sebagai katarsis – dari kata Yunani catharsis, yang berarti “pemurnian” atau “pembersihan” – yang awalnya digunakan oleh Aristoteles dalam tulisannya Poetics melalui pemurnian emosi yang menghasilkan pembaruan, keseimbangan, dan pemulihan.

Konsep seperti itu terlihat dalam berbagai karya Anfield Wibowo. Kelahiran 2004, pelukis muda ini telah menghasilkan lukisan dengan pengaruh ekspresionisme yang jelas tetapi telah membangun identitas artistik yang kuat.

Nilai tinggi dari seninya terlihat gamblang, lahir dari keinginannya yang kuat untuk berkomunikasi dan berekspresi dalam bentuk yang lebih abstrak dan sublim. Tapi ada yang lebih mencengangkan: di usianya yang baru 20 tahun, sudah mengadakan pameran tunggalnya yang ke-5.

Sebelumnya, dua kali di Taman Ismail Marzuki, dua kali di Balai Budaya Jakarta dan sekali di Galeri 678 Kemang. Dan yang paling istimewa: Anfield Wibowo terlahir tuli (tunarungu) dan pada usia 10 tahun didiagnosis sindrom Asperger.

“Sejak berusia sekitar 3 tahun, ia lebih menyukai alat tulis daripada mainan pada umumnya, dan ia terus membuat sketsa. Ia juga menyukai jigsaw puzzle dan balok bangunan mainan. Dengan menggambar dan mencoret-coret, Anfield melatih keterampilan motorik halusnya yang cukup kikuk.

“Ia selalu sangat fokus dalam melukis, dan sangat jelas bahwa ia menikmatinya, bahkan sekarang ketika ia melukis ‘nyata’,” jelas Mardonius Tri Tjahyo Adi (Donny), ayah Anfield. Pada usia 6 tahun, Anfield mulai menggunakan krayon dan pensil warna, dan pada usia 7 tahun ia mulai melukis di atas kanvas dengan cat akrilik, yang ditekuninya hingga sekarang.

“Anfield adalah anak tunggal kami, dan ia adalah seorang otodidak dalam melukis, meskipun ia sempat mengikuti kursus melukis untuk waktu yang singkat.

Untuk melukis sebuah karya yang lengkap, ia membutuhkan waktu maksimal dua jam; setelah itu, karya tersebut tidak akan pernah disentuh lagi,” Donny menjelaskan lebih lanjut.

Tidak ada satu pun pernyataan dalam pamerannya yang menyatakan bahwa sang seniman adalah orang dengan “kebutuhan khusus”. Idealnya, seperti itulah kita seharusnya menilai karya seni — karya seni didasarkan, dan seharusnya, pada nilai artistiknya, bukan pada usia, sifat khusus, keanehan, atau disabilitas seniman.

Anfield telah membuktikan bahwa produk seninya dapat berdiri sendiri, terlepas dari seniman yang menciptakannya. Musik Beethoven memberi dampak yang besar bukan karena (atau bahkan terlepas dari) ketuliannya, dan lukisan-lukisan Van Gogh kuat dan berpengaruh tanpa ada yang perlu tahu tentang episode-episode psikotik dan delusinya, atau bahwa ia memotong telinganya.

Anfield tampil sebagai anak muda Aspie (nama julukan para penyandang Asperger’s Syndrome) yang khas — ia melakukan apa yang ia suka, tanpa disaring, dan ia tidak begitu tertarik berinteraksi dengan orang lain (yang lebih disebabkan oleh ketuliannya), meskipun ia melakukannya melalui telepon genggamnya.

“Banyak karya Anfield, kali ini, akan disumbangkan ke yayasan amal Istana KSJ. Sejauh ini, 10 hingga 15 karya Anfield telah dilelang untuk tujuan ini ke yayasan-yayasan lain,” kata Donny.

Sindrom Asperger (AS) termasuk dalam spektrum Autisme, yang ditemukan oleh Dr. Hans Asperger (1906-1980) yang makalahnya diterbitkan pada tahun 1944. Sebagian besar Aspie sama cerdasnya, atau bahkan lebih cerdas, daripada yang bukan Aspie dan cenderung obsesif atau suka melakukan hal yang sama secara berulang-ulang dan teratur.

Tanggal 20 Februari nanti, Anfield akan memperagakan proses kreatifnya, bukan hanya lukisan-lukisannya yang sudah jadi, tapi benar-benar melukis dari nol. Penonton akan dapat melihat bagaimana ia bekerja.

Tidak kalah spektakulernya, selama ia melukis, pianis dan komponis Ananda Sukarlan (yang juga penyandang Asperger’s Syndrome) juga akan konser! Untuk acara ini Ananda Sukarlan telah menulis (Baca juga https://hatipena.com/musik-film/surat-terbuka-dari-seorang-yang-dianggap-berbeda-kepada-sesamanya/).

Anfield dan Ananda memiliki kesamaan dalam produktivitas. Sampai sekarang Anfield telah melukis lebih dari 2000 lukisan, dan Ananda pun telah mencipta sekitar 1000-an karya musik, antara lain lebih dari 500 tembang puitik, 43 Rapsodia Nusantara dan berbagai karya untuk instrumen lain.

Tembang Puitik adalah istilah karya musik untuk vokal klasik dimana teksnya diambil dari karya sastra (biasanya puisi) yang sudah ditulis oleh penyair lain. Sedangkan Rapsodia Nusantara adalah karya-karya Ananda Sukarlan untuk piano solo yang virtuosik, berdasarkan melodi dari lagu-lagu tradisional berbagai suku dan budaya Indonesia.

Di acara tanggal 20 Februari yang diadakan di Auditorium LSPR (London School of Public Relations) itu, produk fashion Gori The Label secara eksklusif membuat busana untuk Ananda dari lukisan Anfield, sehingga Ananda dan para tokoh lain di acara itu akan sekaligus berfungsi sebagai “model” atau “peragawan” yang mengenakan kostum dari hasil lukisan Anfield.

Ananda akan menampilkan juga soprano muda Aurelia Vicci Abigail Hutajulu, pemenang ke-2 Kompetisi Piano Nusantara Plus ( KPN+ ) 2024 yang berakhir Desember kemarin. Ikut tampil juga pianis muda peserta KPN+ yang juga penyandang autis, Steven Audric Gui.

Pada bulan Juni 2023 Anfield Wibowo diminta pihak istana untuk melakukan live painting dihadapan Kaisar Jepang Naruhito dan permaisuri Masako di Istana Bogor di mana hasil live painting itu menjadi hadiah untuk permaisuri Masako.

Sedangkan di September 2024 Anfield mendapat kesempatan yang sangat berharga dari Gereja Katolik Indonesia untuk berjumpa dengan Bapak Paus Fransiskus. Dalam pertemuan tersebut Bapak Paus menggoreskan cat di kanvas lalu Anfield meneruskan menjadi sebuah lukisan.

Oleh pihak KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) lukisan tersebut diserahkan ke kedutaan besar Vatikan di Jakarta.

Anfield Wibowo telah lulus SMA SLB B Pangudi Luhur Jakarta ( sekolah khusus Tunarungu) pada Bulan Mei 2024.

“Anfield saat ini tidak melanjutkan kuliah dikarenakan kami selaku orang tua tidak mau memaksakan. Pertimbangan kami adalah sungguh sulit bagi Anfield untuk kuliah dikarenakan 2 kekhususan yang Tuhan anugerahi kepadanya yaitu tunarungu dan Asperger’s Syndrome dimana dia sulit berkomunikasi dan besosialisasi.

Aktivitas sehari-harinya saat ini adalah berkesenian di rumah (melukis, buat prakarya, instalasi dan lain-lain) dan seminggu sekali ikut sanggar melukis serta mencari kegiatan lain yg mendukung minat berkeseniannya.

Tetapi kami tidak menutup kemungkinan jika Anfield mau kuliah atau kami menggangap dia sudah mampu kuliah atau jika ada universitas yang mau menerima Anfield apa adanya”, ujar sang ayah Donny Mardonius.

Setiap penyandang Asperger memiliki karakteristik berbeda, tergantung pada bagian otak mana yang terpengaruh. Aspie kebanyakan unggul dalam hal tertentu tetapi canggung dalam keterampilan sosial dan hal-hal “normal” dalam hidup, seperti menafsirkan figur tiga dimensi di permukaan datar dan mengemudi.

Beberapa tokoh terkemuka dengan AS termasuk aktor Sir Anthony Hopkins dan aktris Daryl Hannah, pendiri Pokemon Satoshi Tajiri dan seniman Andy Warhol. Diperkirakan satu dari 250 orang lahir dengan Sindrom Asperger, dan kurang dari 25 persen penyandang Asperger adalah perempuan.

Satu hal yang harus diluruskan adalah kepercayaan umum bahwa para Aspie tidak bisa berempati. Itu sangat salah. Bahkan kadang sebaliknya: Aspie bisa menjadi orang yang sangat sensitif.

Penyandang Asperger biasanya hanya tidak paham bagaimana mengekspresikannya secara fisik atau verbal. Di sinilah seni berperan — seni dapat mengekspresikan hal-hal yang tidak dapat kita ekspresikan melalui gerakan, kata-kata, atau tindakan.

Dan seni menawarkan kemungkinan yang lebih kecil untuk disalahpahami, karena seni seharusnya menjadi bentuk komunikasi yang universal. (*)