Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Shelomita Amory: Antara Pandemi dan Emily Dickinson

January 5, 2025 14:09
IMG-20250103-WA0067

TAHUN baru 2025 akan menjadi saksi gebrakan baru dari soprano muda Shelomita Amory (15 tahun). Setelah di tahun 2024 soprano yang lahir dan besar di Salatiga ini sukses dengan “Pandemic Poems”, kini ia akan memberi warna baru musik klasik Indonesia dengan “Three Dickinson Songs”.

Kalau “Pandemic Poems” terdiri dari 4 lagu berdasarkan puisi Goenawan Monoharto, Hilmi Faiq, Muhammad Subhan dan Riri Satria yang digubah menjadi tembang puitik oleh Ananda Sukarlan, kini “Three Dickinson Songs” adalah berdasarkan 3 puisi penyair besar Amerika Emily Dickinson, yang juga digubah musiknya oleh komponis dan pianis Ananda Sukarlan. Baik di Pandemic Poems maupun di Dickinson Songs, sang komponis sendiri lah yang mendampingi Shelomita di piano.

“Shelomita Amory dengan usianya yang masih sangat muda telah mampu menunjukkan kematangan artistik selain tentu teknik vokal yang mumpuni,” ujar Ananda Sukarlan.

Dengan Pandemic Poems, penonton diajak untuk melihat kembali sejarah dunia ini pernah diserang oleh sebuah virus mematikan bernama Corona.

Empat lagu Pandemic Poems tersebut mempunyai vibe yang berbeda, mulai dari kepedihan garda depan para medis, vibe romantic, satire bahkan komedi.

“Harapannya dengan disajikannya lagu-lagu cycle pandemic, anak muda dapat mengingat sejarah melalui sastra dan musik,” pungkasnya.

Shelomita Amory mampu menggali emosi paling dalam yang sangat kompleks dari Emily Dickinson, yang selalu hidup menyendiri jauh dari hingar-bingar Amerika abad ke-19.

Pengalaman Dickinson tentang kesendirian, kehilangan, dan kendala sosial sangat mempengaruhi tulisannya. Melalui penggunaan bahasa dan bentuknya yang inovatif, ia mengartikulasikan pergulatan emosional yang mendalam dan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang menyentuh diri saya pribadi dan secara otomatis bertransformasi menjadi musik.

Tema keputusasaan, kerinduan, dan kebutuhan berkomunikasi mencerminkan perjuangannya sendiri melawan penderitaan mental. Alam berfungsi sebagai tempat perlindungan dan sumber inspirasi, mengungkapkan kualitas keindahan dan keterasingan dalam lanskap emosionalnya.

“Dengan mengkaji puisi Dickinson melalui kaca mata sindrom Asperger yang saya idap, proses menggubah puisi menjadi musik ini menyoroti warisan abadinya sebagai suara pedih bagi kita yang bergulat dengan perjuangan serupa, menggunakan kekuatan sastra dan musik untuk menerangi kompleksitas emosi manusia,” lanjut komponis penerima penghargaan tertinggi dari dua negara ini, yaitu Cavaliere Ordine della Stella d’Italia (dari Presiden Sergio Mattarella) dan Real Orden de Isabel la Catolica (dari Raja Felipe VI, Spanyol).

Tiga puisi Emily Dickinson yang digubah oleh Ananda untuk “Three Dickinson Songs” adalah “If I Could Stop One Heart from Breaking”, “This Is My Letter to the World” dan “We Learned The Whole of Love”.

Three Dickinson Songs akan tayang mulai 24 Januari nanti. Seperti Pandemic Poems yang telah tayang tahun lalu, berbagai tembang puitik ini dapat didengarkan melalui platform iTunes, Spotify, Youtube Music, Tiktok, Instagram, Facrbook, Amazon Music, Pandora, Deezeer, iHeartRadio, Napster, Tencent, Snapchat, BOOM, NetEase, gaana, Joox, Peloton, Tiktok, MediaNet, Tidal, YouSee Musik, KKBox dan Music Island.

Nama Shelomita Gasya Amory mulai dikenal para pecinta musik klasik Indonesia setelah ia memenangkan Juara Pertama kategori Tembang Puitik di Ananda Sukarlan Award 2023.

Setelah itu Ananda mengajaknya dalam beberapa konser yang telah memukau publik Jakarta dan diliput oleh harian Kompas. Kompas bahkan membuat satu artikel tentang sosok kelahiran 2009 ini.

Titik ini membawa namanya makin identik dengan musik klasik Indonesia dan tembang puitik menjadi salah satu materi belajar pokok Shelo saat ini seperti yang dicitakan, memperkenalkan musik klasik Indonesia kepada generasi muda dan masyarakat luas baik di Indonesia maupun dunia.

Shelo belajar vokal klasik sejak usia sembilan tahun di bawah bimbingan seorang penyanyi soprano, Eriyani Tenga Lunga, salah seorang pemenang Ananda Sukarlan Award.
Dia juga belajar kepada maestro opera Indonesia, yaitu mezzosoprano Heny Janawati pimpinan Janawati Academy of Performing Arts Bali.

Pada usia 10 tahun, orangtuanya memutuskan untuk menjadi pesekolah rumah dengan
gaya belajar yang disesuaikan dengan minat dan ketertarikannya pada dunia seni.

Sebagai seorang homeschooler, Shelo melakukan berbagai kegiatan seperti aktif menyanyi di berbagai event, seperti konser, recital, drama musikal, kompetisi vokal klasik maupun pop, kegiatan musik gereja termasuk paduan suara, mengikuti berbagai komunitas seni baik vocal,
musik, string orchestra, maupun tari. Shelo juga mengambil ujian kompetensi musik melalui ABRSM.

Di awal tahun 2025 ini Shelo hijrah ke Surabaya untuk mendalami seni vocal dan musik dalam bimbingan soprano Evelyn Merrelita dan Patrisna May Widuri. Tahun ini Shelomita Amory akan menjadi tokoh di dua opera Ananda Sukarlan : “Laki-laki Sejati” (dari cerpen Putu Wijaya) dan “I’m Not For Sale” (dari libretto puitik Emi Suy).

Di “Laki-laki Sejati” ia akan menjadi tokoh utama di dialog antara ibu dan anak ini, rencana dipagelarkan di Semarang bulan September, produksi Amadeus Performing Arts dan disutradarai pendiri Amadeus, Patrisna May Widuri. Peran Ibu akan dinyanyikan oleh gurunya saat ini soprano Evelyn Merrelita, yang telah sering menyanyikan peran ini sejak pertunjukan perdananya tahun 2013.

Sedangkan opera baru Ananda Sukarlan, “I’m Not For Sale” berskala lebih besar. Di sini Shelomita akan menjadi pemeran pembantu bersama pendatang baru pemenang Kompetisi Piano Nusantara Plus, soprano Ratnaganadi Paramita, keduanya sebagai korban perdagangan manusia di awal abad 20 di Batavia.

Rencananya opera yang mengangkat tokoh penyelamat korban human trafficking Auw Tjoei Lan (diperankan soprano Mariska Setiawan) dan suaminya Kapten Lie Tjian Tjoen ini akan diperdanakan di Jakarta bulan November. (*)