Puisi Mitha Pisano
Di sempadan dunia antara langit dan air,
Tersibak wajah yang penuh takdir,
Rambutnya menjalar, menjadi ombak besar,
Membuai kapal, menguntai sihir.
Ia datang bagai bisikan purba,
Dari dasar laut yang penuh rahasia,
Setiap hentakan gelombang menyimpan berjuta cerita,
Tentang kehancuran, tentang kedamaian dan tentang cinta.
Matanya samar bagaikan senja,
Namun tak ada damai di dalamnya,
Ada badai yang menanti waktu,
Menggulung harapan di lautan biru.
Kapal yang kecil, berlayar perlahan,
Menantang riak gelombang di tengah samudra kelam,
Namun sang wajah tak berbicara,
Ia hanya terdiam, penuh dengan teka-teki dunia.
“Wahai pengembara, apakah kau tahu?”
Bisik sang laut dengan suaranya syahdu,
“Setiap pelaut yang mengarungi aku,
Menitipkan mimpi atau rasa pilu.”
Rambutnya berkibar, mendekap langit,
Seakan menggapai bintang yang puitis,
Namun di bawahnya, di kedalaman yang amat gelap,
Menyimpan sejuta kekuatan yang tak terungkap.
Ia bukan manusia, bukan pula dewi,
Namun hadirnya abadi di jagad raya ini,
Setiap hempasan gelombang adalah nyawanya,
Setiap amukan badai adalah amarahnya.
Kapal tua itu terus berlayar,
Menembus gelombang angin yang menusuk nalar,
Namun siapa yang tahu, hingga kapan bisa bertahan,
Di hadapan sang laut, yang penuh ancaman.
Wahai, wajah sang lautan yang maha agung,
Dalam tenangmu, badai yang terkandung,
Dalam gelombangmu, tersimpan mimpi dan cabar hati,
Menghanyutkan semua dalam puisi abadi.
Engkau adalah penjaga dan penyudah,
Penuntun jiwa yang mencari arah,
Namun kepada siapa kau bersandar?
Apakah engkau juga punya duka lara yang mengakar?
Di kaki langit, wajahmu perlahan memudar,
Tersapu angin, tertelan kabut samar,
Namun ingatan tentangmu takkan pernah hilang,
Lautan, tempat misteri dan harapan bercabang
Sesungguhnya, akulah pemilik lautan itu. (*)
Bukittinggi, Januari 252025