Oleh: Rizal Tanjung
tatkala senja mengukir drama di cakrawala,
tampillah alexander, aktor besar sandiwara dunia.
dengan pedang sebagai pena dan darah sebagai tinta,
ia menulis sejarah di lembar pasir yang fana.
ia yang membakar kota-kota bagai lilin,
menyulut pujian di mulut yang terbungkam.
namun kini, di ranjang sakit yang sunyi,
maut mengintip, tak gentar oleh mahkota atau perang suci.
“bawalah peti matiku, hai dokter agung,”
katanya sambil terkekeh dalam batin murung.
“biar dunia tahu, kau bukan dewa,
hanya peran kecil di naskah kehidupan fana.”
sungguh, dokter itu, tangan-tangan ajaib,
yang dulu dielu-elukan seperti nabi.
kini hanyalah boneka tanpa tali,
di hadapan panggung akhir bernama mati.
lalu ia tertawa dalam suara yang patah,
“sebar harta emas di sepanjang tanah,
biarkan mereka mengira aku bahagia,
sementara aku tahu, semua itu hanya fatamorgana.”
ah, emas itu, logam kemewahan,
kini berhambur di jalan tanpa tujuan.
dulu, mereka tunduk padanya,
sekarang, mereka tertawa—“harta ini hanya debu belaka!”
dan akhirnya, pesan ketiga pun bergulir,
“biarkan tanganku menjulur, tak terkubur,
biar dunia tahu, aku datang dengan kehampaan,
dan mati dengan kehampaan yang sama, tanpa tambahan.”
oh, tangan itu, yang dulu menggenggam dunia,
kini melambai, kosong, bagai cangkang semu.
ia menaklukkan kerajaan, menaklukkan raja,
tapi tak bisa menaklukkan kehendak fana.
jenderalnya terdiam, wajah mereka batu,
namun di dalam hati, bergejolak pilu.
mereka memandang sang raja, sosok setengah dewa,
kini tersungkur di bawah takdir yang kejam dan sia-sia.
maka diaraklah peti mati itu,
seperti panggung terakhir dalam opera bisu.
dokter membawa, tanpa mantra, tanpa harap,
harta tersebar, sementara orang-orang tertawa sinis dalam gelap.
tangan itu, menjulur bagai tanda tanya,
“untuk apa ini semua, wahai dunia?”
alexander, yang pernah dianggap abadi,
kini hanyalah lelucon kecil di tepi tragedi.
pelajaran di sini adalah satire hidup,
bahwa segala keagungan hanyalah bualan makhluk.
kekuasaan, emas, dan tubuh yang megah,
hanyalah properti dalam sandiwara dunia yang lelah.
ah, alexander, sang raja dan badut,
dalam kematianmu, kau tetap menyentil hidup.
kisahmu adalah ejekan pada keangkuhan,
bahwa semua manusia hanyalah pengembara dalam kehampaan.
maka, dengarkan bisikan angin yang sinis,
ia membawa kabar tentang seorang penakluk tragis.
bahwa di ujung jalan, hanya kebijaksanaan,
yang tersisa di antara tawa maut dan keheningan.
Padang, 21 Januari 2025