Oleh: Ahmad Gusairi
Di pabrik suara, kata-kata digemakan
Di bibir buruh, sajak menjadi perlawanan
Sang Penyair menganyam luka di lembar kertas
Menyulut nyala di lorong-lorong senyap terhempas
Di sana, puisi bukan sekadar aksara
Ia teriak di bawah langit penuh bara
Memikul nestapa di bahu yang lelah
Menuntut hak, di tengah gaduh yang resah
Tapi di sudut lain, pena berbayar menari
Menjaring kata dalam kontrak dan janji
Puisi ditimbang dalam angka dan angka
Dijual lunas sebelum suara sempat berbunga
Buruh sastra, menulis karena diorder
Menjadi bayang di balik lembar pesanan terhampar
Adakah nurani di tinta yang tercecer?
Atau hanya kata yang lepas, jadi sekadar?
Sastra buruh, jeritan dari tanah yang keras
Menggugat sunyi dalam bayang yang membekas
Tapi buruh sastra, di meja-meja kerja
Mencatat kata, tanpa luka di dada
Antara yang menyala dan yang dijual
Ada batas tipis di arus yang mengental
Yang satu berteriak, meski suara dipadamkan
Yang lain menulis, meski nurani diabaikan
Namun di tiap kata, di setiap helaan
Selalu ada cerita yang menolak dilupakan
Entah dari pabrik atau meja pesanan
Puisi tetap hidup di tiap perlawanan
(Toboali, 14 Maret 2025)