Lindafang
JIKA takdir menolak kita untuk bersama,
biarlah aku menyimpanmu sebagai sahabat,
sebuah kompas lembut yang tersembunyi di dadaku,
memanduku melewati badai yang tak bisa kujelaskan.
Kau adalah suara dalam kesunyianku,
doa tak terucap di antara helaan napas,
kilau fajar yang takkan pernah bisa kugenggam,
namun tetap kukejar,
seperti bayangan yang terus mengejar cahaya.
Kita adalah dua dunia,
dekat karena rindu,
namun dipisahkan oleh keabadian.
Seperti bumi yang merindukan langit,
namun tak pernah mampu meraih pelukannya.
Seperti hujan yang jatuh,
menangisi matahari yang tak bisa dicium,
lenyap tanpa jejak
sebelum hangatnya sempat menyentuh.
Maka biarlah aku mencintaimu
dengan satu-satunya cara yang diizinkan takdir—
dari kejauhan,
dalam ketenangan,
di mana hatiku selalu menjadi milikmu,
meski tanganku takkan pernah merasakan sentuhanmu. (*)