Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Cahayaku adalah Cahaya-Nya

March 15, 2025 05:30
IMG-20250315-WA0026

Oleh Mila Muzakkar

HATIPENA.COM – Puisi ini dibacakan pada acara “Tadarus Puisi” Creator Club, 14 Maret 2025 –


Di rahim waktu, aku dilahirkan,
bukan hanya untuk menunggu,
bukan sekadar bunga di pinggir jendela,
tetapi nyala yang berjalan,
menyusuri bumi dengan langkah rahmat-Nya.

Di kitab suci, Tuhanku telah berfirman:
“Kalian adalah khalifah di muka bumi.”
Maka aku jawab dengan segenap jiwa,
tanganku menjadi ladang kebaikan,
hatiku menjadi mata air bagi dahaga dunia.

Aku melihat luka di wajah kehidupan,
anak-anak yang kehilangan harap,
perempuan-perempuan yang suaranya dipadamkan,
tangan-tangan renta yang gemetar dalam sepi.
Bagaimana mungkin aku berpaling?

Apa artinya hidup jika hanya diam?
Sedang aku telah diberi cahaya,
yang harus kusulut di sudut-sudut gelap,
di hati yang remuk, di jiwa yang haus,
agar dunia tak kehilangan Tuhan di dalamnya.

Mereka berkata, “Perempuan, cukuplah di rumah.”
Tapi tidakkah Siti Khadijah berdagang?
Bukankah Nusaibah mengangkat pedang?
Dan, rahim Maryam melahirkan cahaya?
Lalu mengapa aku harus mengecilkan peranku?

Jika Tuhanku menitipkan cinta di tanganku,
biarlah aku taburkan,
biarlah aku rawat,
agar dunia ini tak hanya berbicara tentang kuasa,
Tapi juga tentang kasih yang meluruhkan duka,
dan doa-doa yang membasuh luka.

Tenang saja aku tak lupa,
di antara langkah yang jauh,
di antara nyala yang kuberikan pada dunia,
ada rumah yang menunggu senyumku,
ada tangan-tangan kecil yang menggenggam rinduku.

Menjadi cahaya bukan hanya di jalanan,
tetapi juga di kamar-kamar kecil yang sunyi,
menjadi hangat di pelukan anak-anak,
menjadi doa dalam mata seorang kekasih,
menjadi jalan pulang bagi hati yang lelah.

Sebab aku bukan hanya pelita bagi semesta,
tapi juga lilin yang menerangi ruang paling sunyi,
tempat doa-doa pertama dipanjatkan,
tempat cinta pertama diajarkan,
tempat Tuhan pertama kali diperkenalkan.

Maka aku akan terus melangkah,
bukan mencari dunia, tapi menyebar cinta-Nya,
bukan demi nama, tapi menunaikan amanah-Nya.
Sebab hanya dengan memberi, aku menjadi utuh,
dan hanya dengan berjalan di jalan-Nya, aku menemukan hidup.

Kelak, saat tubuhku melebur dengan tanah,
aku ingin dikenang bukan karena rupa,
bukan karena harta, bukan karena gelar,
tetapi karena cahaya kecil yang pernah kupijarkan,
pada hati yang hampir padam. (*)

Depok, 13 Maret 2025

*) Puisi ini dibuat dengan bantuan AI

Berita Terkait