Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Doa Malam Saat Kemanusiaan Runtuh

January 23, 2025 13:42
IMG-20250123-WA0004(1)

Albertus M. Patty *)

Refleksi Puitis atas Mazmur 4

Aku menyaksikan dari balik semak sunyi,
Daud, lelaki yang memetik kecapi,
tersembunyi di lembah kecemasan,
tapi hatinya seperti sungai, mengalir damai.
Dunia memburunya dengan mata nyalang,
Saul mengacungkan tombak
Absalom, darah dagingnya sendiri,
menyulam jaring perangkap pengkhianatan.

Ketika kekuasaan dan kekayaan menjadi berhala,
Saul mabuk dalam takhta retak,
Absalom menunggang kuda nafsu,
Mereka ciptakan jutaan tipu daya
demi peroleh dukungan rakyat dan aparat
Daud pun tersudut dalam kepedihan.
Bukan karena bahaya yang mengancam dirinya
Tetapi pada keluarganya yang luruh menjadi abu.

“Ayah adalah ancaman,” kata Absalom dalam beringasnya
dan Saul berbuih nafsu bersumpah dalam diam
meninggalkan kemanusiaan dalam dirinya.
Aku melihat Daud bersujud di tanah,
mendongak ke langit di antara dedaunan.
“Kepada-Mu, ya Allah, aku serahkan hidupku.”

Di malam yang gelap, dia bicara pada angin,
menghitung bintang bukan sebagai musuh,
melainkan sebagai teman yang memahami.
“Aku berserah,” bisiknya,
dan bumi pun bergetar oleh doa.

Tapi tidakkah dunia mendengar?
Bahwa keadilan bukan milik Saul,
bukan pula Absalom,
melainkan milik langit yang diam-diam bekerja.
Aku melihat Daud membaringkan tubuhnya,
tidurnya lebih tenang daripada raja-raja.

Aku bertanya pada diriku sendiri:
Mengapa manusia haus kuasa
hingga lupa pada darah dagingnya sendiri?
Mengapa ambisi menghapus nurani
dan meruntuhkan keluarga dan bangsa puing-puing?

Daud, lelaki kesepian,
berbisik pada Allah di malam yang dingin,
menghidupkan iman di tengah kematian kasih.
Aku tahu, meski dunia mengusirnya,
surga tetap membukakan pintu.

Aku takjub pada kesabarannya,
pada kekuatannya yang lahir
dari kesadaran akan tempat sandarnya.
“Bukankah ini ujian bagi para pecinta?” tanyaku.
Daud menjawab dalam diam,
matanya penuh cahaya kesetiaan.

Di tengah kehancuran, aku belajar
bahwa manusia tanpa kontrol adalah reruntuhan.
Dari persembunyiannya, Daud adalah suara lembut
yang menegur Saul dan Absalom.
Aku melihat Daud, dia lelaki kecil di hadapan Allah,
tetapi besar dalam kemanusiaan.

Aku menyaksikan dari balik semak sunyi,
Daud, lelaki yang memetik kecapi,
tersembunyi di lembah kecemasan,
tapi hatinya seperti sungai, mengalir damai.
Dunia memburunya dengan mata nyalang,
Saul mengacungkan tombak
Absalom, darah dagingnya sendiri,
menyulam jaring perangkap penghianatan.

Ketika kekuasaan dan kekayaan menjadi berhala,
Saul mabuk dalam takhta retak,
Absalom menunggang kuda nafsu,
Mereka ciptakan jutaan tipu daya
demi peroleh dukungan rakyat dan aparat
Daud pun tersudut dalam kepedihan.
Bukan karena bahaya yang mengancam dirinya
Tetapi pada keluarganya yang luruh menjadi abu.

“Ayah adalah ancaman,” kata Absalom dalam beringasnya
dan Saul berbuih nafsu bersumpah dalam diam
meninggalkan kemanusiaan dalam dirinya.
Aku melihat Daud bersujud di tanah,
mendongak ke langit di antara dedaunan.
“Kepada-Mu, ya Allah, aku serahkan hidupku.”

Di malam yang gelap, dia bicara pada angin,
menghitung bintang bukan sebagai musuh,
melainkan sebagai teman yang memahami.
“Aku berserah,” bisiknya,
dan bumi pun bergetar oleh doa.

Tapi tidakkah dunia mendengar?
Bahwa keadilan bukan milik Saul,
bukan pula Absalom,
melainkan milik langit yang diam-diam bekerja.
Aku melihat Daud membaringkan tubuhnya,
tidurnya lebih tenang daripada raja-raja.

Aku bertanya pada diriku sendiri:
Mengapa manusia haus kuasa
hingga lupa pada darah dagingnya sendiri?
Mengapa ambisi menghapus nurani
dan meruntuhkan keluarga dan bangsa puing-puing?

Daud, lelaki kesepian,
berbisik pada Allah di malam yang dingin,
menghidupkan iman di tengah kematian kasih.
Aku tahu, meski dunia mengusirnya,
surga tetap membukakan pintu.

Aku takjub pada kesabarannya,
pada kekuatannya yang lahir
dari kesadaran akan tempat sandarnya.
“Bukankah ini ujian bagi para pecinta?” tanyaku.
Daud menjawab dalam diam,
matanya penuh cahaya kesetiaan.

Di tengah kehancuran, aku belajar
bahwa manusia tanpa kontrol adalah reruntuhan.
Dari persembunyiannya, Daud adalah suara lembut
yang menegur Saul dan Absalom.
Aku melihat Daud, dia lelaki kecil di hadapan Allah,
tetapi besar dalam kemanusiaan.

Bandung, 23 Januari 2025

*) Seorang Religiositas dan Budayawan