Puisi Ririe Aiko
Kala asa meranggas di dahan kehidupan,
Raga terhempas dalam kabut keputusasaan.
Hati meluruh, bagai porselen retakan,
Namun takdir tak pernah hiraukan tangisan.
Kegagalan datang bertubi tanpa sela,
Seperti hujan deras di musim yang renta.
Merobohkan mimpi, mengaburkan warna,
Hingga harap terkubur dalam lorong gulita.
Adakah arti di balik kehancuran ini?
Tanya bergema di relung yang sepi.
Di mana pelita, di mana janji?
Semesta hanya diam, menyulam sunyi.
Namun lihatlah pohon tua di tepian waktu,
Meski badai menggugurkan daun bertalu,
Akarnya kokoh menghujam dalam rindu,
Mencari air di lapisan tanah yang bisu.
Begitulah jiwa, meski hancur berkali,
Tetap terlahir dari abu yang sunyi.
Karena kehancuran bukan akhir narasi,
Ia kanvas baru untuk lukisan abadi.
Bangkitlah, meski angin mengoyak dinding,
Jangan biarkan nyala redup dan hening.
Karena hidup adalah simfoni yang berguling,
Antara jerit pilu dan nyanyian bening.
Biarkan luka menjadi manik pengalaman,
Menempa jiwa dalam samudra kesabaran.
Sebab kehancuran, walau bertabur keperihan,
Adalah jalan menuju kekuatan tanpa batasan.
Bandung, Desember 2024