Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Gagasan, Narasi dan Demi Waktu

March 7, 2025 05:24
IMG_20250307_052229

// Pinto Janir

Gagasan yang tidak terlaksana, sepantun pungguk merindukan bulan.

Bila bulan bulat datang, di sebuah dahan kuat, pungguk bertengger memandangi langit malam.

Ia menangisi rindunya yang dalam. Ia menahan rindu dan mimpi-mimpi yang tak mungkin terjangkau sekalipun bersayap.

Ia tahu, bila terbang tinggi, suatu waktu ia harus menyiapkan diri menghadang badai.

Kalau ia songsong badai kuat, ia harus rela kehilangan sayapnya yang patah dan berderai derai.

Ketika ia meratap, menangis sejadi jadinya, kita anggap itu sebuah nyanyian… Padahal itu adalah air mata derita yang tak terkira.

Seorang pujangga menyusun huruf menjadi kata. Kemudian, menjadi aksara dalam bahasa penuh makna, bukan penuh cerita.

Karena, makna kata yang ia lahirkan adalah hasil tanggukan buah pikirannya sendiri yang murni bukan pikiran korosi yang beraroma koruptif.

Bukan pula buah hayalan semata mata.

Soal pikiran ada tiga zona adat yang sulit dibantah.

Adat pikiran pertama, ia malas berpikir karena ia menyadari bahwa konsekuensi dari pikiran adalah kerja nan menguras waktu dan tenaga.

Kedua, ia tak mau berpikir bukan karena malas mengolah pikirannya sendiri.

Namun, karena jangkauan isi kepalanya tak sebanding dengan persoalan yang ia pikirkan dan yang sedang menimpanya.

Cakrawalanya sungguh amat terbatas.

Tak sepadan benar antara bayang bayang pikiran dan badan pengetahuan.

Ketiga, ia penyimak yang baik. Tukang rekam yang bagus. Ia bukan pungguk, namun adalah beo.

Ia tak lebih dari gulungan pita kosong yang siap dengan menekan “play” dan “record”.

Pikiran orang yang ia rekam, ia kemas seolah olah menjadi pikirannya sendiri.

Karena ia beo. Ia tukang rekam yang ulet dan gigih. Namun ia rapuh dalam pelaksanaan.

Apa yang ia pegang. Apa yang sentuh. Apa yang ia laksanakan menjadi runtuh!

Karena ia tak menguasai pikiran, lantaran yang ia sampaikan adalah pikiran orang lain.

Tapi tidak jarang orang orang yang begini mendapat tempat di sawah basah.

Ini biasa, karena tak jarang ada orang yang mendapat tempat bukan karena “kebenaran” namun karena kesalahan.

Ia dibesarkan oleh kesalahan kesalahan…

Keempat, ia kencang dan tajam berpikir karena ia merumuskan dan menguraikan persoalan dengan sederhana.

Dan, ia seorang pekerja keras yang cerdas.

Ia merasa tersiksa sendiri bila tak mampu melaksanakan pikirannya persis seperti layar imajinasi yang terkembang di ruang kepala dan ruang hatinya.

Ia tak bisa mendengkur sebelum apa yang ia mulai dan apa yang ia laksanakan menjadi tuntas.

Hidup bukan semata permainan pikiran atau terjebak menjadi korban pikiran sendiri atau pikiran orang lain.

Akan tetapi, hidup adalah bagaimana cara mengolah imajinasi menjadi fakta bukan semata cerita cerita saja.

Imajinasi yang tak terolah, ia ibarat sampah yang memenuhi bilik bilik hayalan.

Ia menjadi rindu. Sebagian menjadi dendam. Sebagian menjadi kawan. Dan, sebagian lagi menjadi musuh yang paling dibenci.

Memetik dan menciptakan buah narasi adalah baik.

Tapi akan menjadi buruk ketika terlalu candu menyusun narasi bila hanya untuk sekadar mengolah dan mengendalikan cipta rasa massa dan masa.

Dalam idiom kehidupan, kita mengenal dalam kalimat “gadang ota”.

Walau begitu, sekuat apapun narasi tanpa fakta, ia tak akan pernah abadi.

Lama lama akan menjadi lumpur. Lama lama akan terkubur. Lama ke lamaan akan menjadi bubur.

Narasi menjadi bubur yang tak akan mungkin dikembalikan menjadi nasi kehidupan.

Mainkanlah narasi itu seindah dan seterang bulan dan secerah sinar matahari.

Tapi jangan dipermainkan, karena waktu akan menagihnya!

Ia akan menjelma menjadi hutang yang paling berat dalam kehidupan.

Untuk itu, selaraskan narasi dengan semesta dalam quantum pikiran beralas data dan fakta. Bukan pada cerita yang bermuara pada kebohongan…

Sebaliknya, narasi yang disusun dengan segala pengetahuan, keyakinan dan kepercayaan, kekuatannya melebihi seribu mantra!

Zaman akan mencatatnya di dinding yang paling terkemuka!

Jadilah seorang pelaksana pikiran dengan kesungguhan di ruang kemuliaan untuk orang banyak.

Bukan demi harta, bukan demi tahta, bukan pula demi wanita.

Tapi adalah ” demi waktu”.

Allahu akbar!

Jakarta 7 Maret 2025