Ilustrasi : Meta AI/ Hatipena
Oleh: Wahyu Iryana
Aku terjaga di subuh yang basah, Lampung masih terlelap di dekap embun, pekarangan kampus menyimpan sunyi, daun-daun gemetar menampung sisa hujan semalam.
Di sini, aku bekerja dan menyusun kata-kata, menyusuri halaman kitab-kitab lama, menelusuri jejak para ulama yang menanam doa di tanah ini— tanah yang menyimpan akar, akar yang menyimpan kisah, kisah yang melahirkan sejarah.
Tapi Bandung selalu memanggil, dari kejauhan, dinginnya merayap di kulit, seperti kenangan yang enggan larut. Aku pulang ke kota yang selalu berbisik dalam rintik, berjalan di antara trotoar hujan dan nostalgia, membaca puisi di lampu jalan yang kuning temaram, menemui wajah-wajah masa lalu di kedai kopi yang setia menunggu.
Ada yang tertinggal di tiap perjalanan— seperti angin yang membawa aroma laut dari Teluk Betung, seperti hujan yang jatuh di Jatinangor menghantarkan rindu pada pelataran masjid tua.
Di antara dua dermaga, aku singgah di Pelabuhan Bakauheni, menatap ombak yang mengirim salam ke Pelabuhan Merak. Lautan membentang, mengantar perantau dan kenangan, menghubungkan kota dan ingatan. Kapal-kapal berangkat membawa harapan, meninggalkan riak yang perlahan menghilang, seperti jejak kaki di pasir yang lekas terhapus gelombang.
Gunung Krakatau pernah meletus di tahun 1883, menggetarkan bumi, mengabarkan dentuman sejarah. Abunya melayang jauh, seperti pesan yang tertinggal di angin, seperti rindu yang tak selesai di antara dua kota. Ombaknya mengirim gelombang ke tepian, mengubah daratan, menggurat luka di peta, namun kehidupan tetap bertahan, seperti puisi yang selalu menemukan cara untuk kembali.
Aku hidup di antara dua kota, seperti sungai yang mengalir tak pernah memilih pantai. Lampung adalah siang dengan matahari yang menulis di keningku, Bandung adalah malam dengan gerimis yang menyelipkan sajak di jemariku.
Aku mencintai keduanya dengan cara yang berbeda, seperti mencintai dua musim dalam satu tahun, seperti mengenang seseorang yang tak pernah benar-benar pergi.
Lalu hujan kembali datang, menyentuh tanah di halaman rumah Bandungku, mengusap jalanan kampus di UIN Lampung, menyatukan keduanya dalam satu gigil. Dan aku, di tengahnya, menyusun rindu seperti bait-bait yang tak pernah selesai.
Tapi yang paling utama dari semua tuntu bukan soal Jarak, Namun bagaimana Daku mengukir Jejak. (*)
*) Penyair Dari Tanah Pasundan, Kota Yang Dilahirkan Tuhan Ketika Tersenyum.