Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Jejak Ilmu di Tanah yang Terlupakan

March 18, 2025 05:38
IMG-20250318-WA0023

Penulis : Ririe Aiko

#30Harimenulispuisi

Puisi 18

HATIPENA.COM – Puisi esai ini diangkat dari realitas pahit yang dihadapi anak-anak di pedalaman Papua dan daerah terpencil lainnya di Indonesia –

Di tanah yang diukir matahari,
anak-anak lahir dari nyanyian hutan dan desir ombak.
Mereka mengeja dunia dengan ranting basah,
menuliskan nama di pasir sungai,
sebelum arus membawanya ke laut yang tak bernama.

Di ujung rimba, sekolah berdiri
di tanah merah yang becek saat hujan,
atapnya seng karat, dindingnya kayu retak,
bangku-bangku reyot, papan tulis mengabur debu.

Bano menggenggam buku lusuh,
langkah kecilnya menjejak lumpur.
Ia tetap pergi belajar,
meski hujan turun lebat hari itu.
“Pergilah Nak, karena hanya ilmu yang bisa merubah nasib kita disini!” Pesan ibu.
Bano pun tetap melangkah dengan semangat.
Dengan mimpi tinggi untuk membangun desa ini.

Meski perjalanan bukan sekadar langkah.
Setiap hari, ia berjalan tanpa sepatu, menyeberangi sungai dengan rakit reyot
yang sering karam.
Kadang air pasang datang tiba-tiba,
menggulung tubuh kecilnya hingga hampir tenggelam. (1)
Tapi esoknya, ia tetap kembali,
sebab cita-citanya lebih tinggi daripada rasa takut.

“Hari ini Pak Guru tak datang,” bisik Yusep.
Tapi Bano tak terkejut.
Tak ada yang marah dan Kecewa.
Anak-anak sudah terbiasa menunggu ilmu,
tertunda oleh perahu yang tak sampai,
oleh hujan yang menelan jalan setapak.(2)

Suatu hari, hujan deras hampir menelan sekolah.
Atap seng bocor, air menggenangi lantai tanah.
Tapi tak ada yang pulang.
Tak ada yang menyerah.
Seli menggambar huruf dengan jari di tanah.
Yafet menulis angka di telapak tangan.
Dan Bano tetap menghafal Pancasila.
Mereka tahu, sekolah bukan sekadar bangunan,
tetapi cahaya yang menuntun jalan keluar.

—000—

Di kota besar seorang pejabat berbicara tentang kesetaraan,
sambil menyeruput kopi,
yang lebih mahal
daripada buku yang tak pernah dikirimkan ke desa-desa.
Mereka membahas anggaran dengan bahasa yang tak sampai ke timur.
tempat ini selalu menjadi anak tiri yang terlupakan.

Di sini, anak-anak lebih sering kehilangan mimpi,
bukan karena mereka menyerah,
tetapi karena sekolah mereka tenggelam dalam bencana,
yang tak pernah tertulis di koran ibu kota.

Dan Akhirnya anak-anak selalu terpaksa kembali ke ladang,
menggenggam cangkul menggantikan pena.
Karena Sekolah hilang dalam jejak yang tak lagi berpulang.

Di bawah pohon tua,
Bano menulis surat dengan pensil patah:
“Aku ingin kembali Sekolah lagi”
Tapi kepada siapa surat itu harus dikirimkan?
Sementara di pelosok Papua, banyak kehidupan yang terlupakan. (3)

Catatan :

(1) Berdasarkan laporan Kompas (2023), anak-anak di pedalaman Papua harus berjalan belasan kilometer, bahkan menyeberangi sungai tanpa jembatan, demi mencapai sekolah mereka.
(2) Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sekitar 40% sekolah di daerah terpencil mengalami keterlambatan guru akibat sulitnya akses transportasi.
(3) Berdasarkan penelitian Wahana Visi Indonesia, lebih dari 314.606 anak di Papua tidak bersekolah akibat minimnya fasilitas dan tenaga pengajar.https://papuabarat.antaranews.com/berita/47928/lldikti-sebut-banyak-anak-pedalaman-papua-belum-menikmati-pendidikan