Kampus UIN RIL (Foto: Kompasiana) Oleh: Wahyu Iryana *)
Hujan tiba sebelum pagi benar-benar lahir
jatuh perlahan di atas daun jati yang tua,
pada rerumputan yang baru dicukur kemarin sore
dan pada aspal jalan setapak
yang menampung jejak mahasiswa—
mereka datang dengan buku, rindu,
dan sepasang mata yang ingin tahu.
Di bawah rindang mahoni,
angin membacakan ayat-ayat sunyi
tentang tanah yang tak pernah menolak akar,
tentang pohon yang setia
menyaring udara dari napas letih kota
dan meneduhkan langkah-langkah yang terburu.
Aku melihat seorang mahasiswa
duduk di bawah rindang trembesi,
membuka buku tentang hukum alam
seolah-olah angin akan membisikkan jawabannya,
sementara sekawanan burung pipit
hinggap sebentar di pagar besi
sebelum terbang ke langit yang belum selesai
menceritakan musim.
Pohon-pohon di sini menghafal nama-nama kita,
mereka menyimpan cerita yang tertinggal
di bangku taman dan jalan setapak,
tentang sepasang sahabat yang berbagi mimpi,
tentang seorang dosen yang melangkah perlahan
seraya mengingat puisi-puisi yang dulu dibacakannya di kelas.
Pada pagi yang masih basah oleh embun,
seorang petani kecil datang
dengan sekeranjang benih harapan,
menyisipkannya di antara rerumputan liar
karena katanya:
setiap kampus butuh lebih banyak hijau
agar ilmu bisa tumbuh dengan teduh.
Di sudut lain, seorang gadis muda
menanam bibit kenanga di dekat musala,
katanya ia ingin setiap doa
membawa harum yang mengalun pelan
di antara hujan dan cahaya pagi.
Lalu sore datang perlahan
menyusup di antara dedaunan,
membiarkan bayangan panjang
menari di halaman perpustakaan,
dan di sana—
seorang mahasiswa tertidur
di antara buku-buku yang belum selesai dibacanya.
Malam jatuh dengan lembut,
di antara kelap-kelip lampu taman
yang mengingatkan pada kunang-kunang
di desa jauh tempat seorang mahasiswa lahir.
Langit memantulkan doa-doa
yang melayang di antara batang pohon,
seperti ingin menyapa rembulan
yang tersenyum di sela ranting akasia.
Di kampus ini, hijau adalah bahasa yang tak pernah mati,
yang tumbuh dalam diam,
yang menyimpan rahasia
tentang ilmu yang tak hanya tertulis
tapi juga berakar dalam hati.
Dan hujan kembali turun,
perlahan, lembut, dan nyaris tak terdengar,
seolah-olah ia tahu
bahwa kampus ini telah menghafalnya,
seperti mahasiswa yang menghafal pelajaran,
seperti tanah yang mengingat setiap tetesnya. (*)
*) Penyair dari tanah Pasundan, Tanah yang Diciptakan Tuhan Ketika Tersenyum.