Oleh: Rizal Tanjung
I
di hari Idulfitri, kita berumah di algoritma,
tak ada jabat tangan dan silaturahmi.
ucapan maaf hanya barisan kata,
dikirim serentak ke semua kontak.
tak ada pelukan, hanya pesan berantai,
lebaran terasa seperti notifikasi, bukan perayaan.
dulu kita berjalan beriringan,
mengetuk pintu dengan senyum dan tangan,
kini cukup mengetuk layar,
mengirim stiker salam lebaran.
ketupat tergantikan dengan emoji,
takbir hanya gema dari speaker ponsel.
kita berbagi kebahagiaan dalam jaringan,
merayakan kemenangan lewat streaming,
bertatap muka tanpa bertemu,
menanyakan kabar tanpa mendengar suara.
rumah-rumah terbuka dalam bentuk status,
tapi pintunya tak lagi disinggahi kaki.
di meja makan, kursi tetap tersusun,
namun tamu hadir dalam panggilan video.
kita menyantap opor dan rendang,
sambil menunggu komentar masuk di unggahan.
lebaran menjadi tayangan, bukan pengalaman.
anak-anak tak lagi berlarian,
mereka sibuk menunggu “like” dan “view.”
angpau berpindah tangan lewat transfer digital,
tak ada genggaman hangat, hanya notifikasi saldo bertambah.
di hari suci ini, kita tetap berjabat tangan,
namun hanya dalam bentuk simbol di layar.
silaturahmi kita terjalin di jaringan,
tapi tak ada genggaman nyata.
kita rindu bertemu, tapi tetap diam di balik layar,
menunggu balasan pesan lebih lama dari tatapan kasih nyata.
maka di manakah kini Idulfitri kita?
di folder spam atau di arsip kenangan?
di beranda yang penuh iklan,
atau di pesan yang tak kunjung terbaca?
ah, barangkali kita sudah lupa,
bahwa Idulfitri bukan sekadar ucapan,
tapi pertemuan, pelukan, dan suara,
yang seharusnya tidak terjebak di dalam server.
II
kita berumah di algoritma, di gang-gang sempit digital,
di mana dindingnya terbuat dari notifikasi dan pintunya berlapis captcha.
kita tak perlu salam, tak perlu berkunjung,
sebab cukup satu klik, wajah-wajah muncul tanpa nyawa di layar kaca.
jabat tangan? apa itu?
hanya emoji yang menggenggam udara.
silaturahmi? ah, kini ia berwujud pop-up reminder,
“ucapan selamat ulang tahun otomatis terkirim!”
dan kita pun merasa sudah cukup menjadi manusia.
dulu, kita mengetuk pintu dengan tangan,
kini kita mengetuk hati dengan algoritma.
kita tidak berbicara, hanya mengetik.
tidak tertawa, hanya mengirim stiker.
kebersamaan kita diukur dengan jumlah like dan komentar,
dan kasih sayang? ah, ia dijual dalam paket premium berlangganan.
kita adalah warga kota tanpa trotoar,
bertemu hanya di perempatan sinyal.
langkah kaki kita tidak terdengar,
sebab kita berjalan di dalam server, bukan di atas tanah.
kita bertatap muka tanpa bertemu,
berbagi cerita tanpa suara,
dan merindukan perjumpaan tanpa pernah benar-benar ingin bertemu.
di pesta pernikahan, kita hadir dalam bentuk story.
di pemakaman, kita melayat dalam kolom komentar.
tangisan kita berupa reaction sedih,
dan doa-doa kita diketik di ruang maya,
tanpa pernah sampai ke langit, hanya berhenti di server pusat.
dunia ini bukan lagi rumah,
hanya jaringan tanpa ruang tamu.
kita tetangga yang tinggal berjauhan,
yang lebih sering melihat status dibanding wajah.
bukan lagi silaturahmi, tapi sekadar pengumuman,
bukan lagi pertemuan, tapi hanya algoritma yang mempertemukan.
maka di manakah kini rumah kita?
di folder spam atau di arsip kenangan?
di beranda yang penuh iklan,
atau di pesan yang tak kunjung terbaca?
ah, barangkali kita sudah lupa,
bahwa rumah bukan sekadar data,
tapi di mana tangan bisa saling menggenggam,
dan suara bisa memanggil tanpa perlu buffering. (*)
Padang, 31 Maret 2025