HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Kitab Bayangan

July 28, 2025 10:19
IMG-20250728-WA0039

Perjalanan Jiwa Orang-Orang yang Tak Terlihat

Antologi Puisi Sufi oleh Rizal Tanjung

Puisi I

Dunia yang Sibuk Menyamar

Tuhan berfirman di balik bayangan layar: “Wahai manusia yang mengecat wajahmu dengan cahaya semu, kenapa kau menari di atas panggung yang tak kau pilih?

Kau bukanlah piksel yang bersinar, tapi cahaya yang tak butuh layar.”

Dan manusia menjawab dalam kebisuan: “Aku hanya ingin diterima, walau harus menghilang.”

Lalu Tuhan berbisik, “Yang hilang tak pernah kutinggalkan. Kau sembunyi di balik topeng, tapi Aku tetap melihat wajahmu.”

Puisi II

Panggung dan Topeng

Di ruang kelas, engkau dilatih bukan untuk menemukan, tapi meniru. Bukan untuk menjadi hening, tapi menjadi hafalan.

Tuhan bertanya dalam detik sunyi: “Apakah kau masih mengingat wajahmu sendiri, kala dunia memberimu topeng bertingkat?”

“Lepaskanlah itu, wahai jiwa, dan datanglah padaku dalam tangis. Biar Aku peluk dirimu yang gagal, bukan dirimu yang sempurna.”

Puisi III

Sunyi yang Menyimpan Kejujuran

Dalam sepi, cermin kamar mandi berubah jadi kitab wahyu. Bukan ayat-ayat yang tertulis, tapi kerut dan kantung mata menjadi tafsir hidup.

Sunyi adalah bahasa yang Tuhan pakai tatkala dunia terlalu bising.

Ia bertanya: “Masihkah engkau mendengarku, saat semua notifikasi memanggil lebih keras dari Aku?”

Dan manusia menjawab dalam hati: “Ya Rabbi, kau lebih dekat dari sinar layar. Dekat seperti gelisah yang tak bisa dijelaskan.”

Puisi IV

Kesibukan yang Menyamar sebagai Kehidupan

Engkau menyusun agendamu seperti salat yang dipercepat: rapat, tugas, proyek, panggilan.

Tapi Tuhan bertanya: “Wahai yang sibuk karena takut sunyi, kapankah kau menyentuh dadamu dan berkata: ‘Aku di sini, bukan hanya hadir.’”

Waktu bukan sekadar jam. Ia adalah taman tempat ruhmu tumbuh— jika kau sempat menyiraminya dengan diam.

Puisi V

Nilai yang Tak Bisa Dibeli

Tuhan tidak menciptakan ‘likes’. Ia menciptakan bara kecil di dadamu yang tak bisa dijual.

“Wahai jiwa, aku beri engkau cahaya yang menyala dalam hina. Tetaplah hidup walau diludahi dunia.”

Karena harga bukan di mata manusia, tapi di pandangan langit yang membaca keberanianmu, untuk tetap jujur walau sendiri.

Puisi VI

Suara Kecil yang Sering Dibungkam

Suara itu berkata: “Pulanglah.”

Tapi manusia menjawab dengan pekerjaan. Ia tumpuk lembar demi lembar agar tak terdengar panggilan sunyi.

Tuhan hanya menunggu. Ia tak mengetuk keras, hanya menggetarkan sedikit: dada, leher, air mata.

“Bila kau ingin Aku bicara lebih jelas, matikan lah dunia.”

Puisi VII

Masa Kecil sebagai Petunjuk Asal

Anak itu masih di dalam dirimu: yang menggambar matahari biru, bukan karena salah, tapi karena jiwanya belum dijajah konsep.

Tuhan berbisik melalui anak itu: “Jadilah seperti dia: yang melihat dunia bukan untuk dikuasai, tapi untuk dipeluk.”

Puisi VIII

Krisis sebagai Pintu Masuk

Saat segalanya hancur, itu bukan kutukan. Itulah suara Tuhan yang tak tahan melihatmu dipenjara pencapaian palsu.

“Aku runtuhkan menaramu agar kau melihat langit. Aku pecahkan cermimu agar kau menemukan wajahku dalam debu.”

Puisi IX

Retakan yang Menyala

Retak bukan tanda rusak. Ia adalah lubang di mana cahaya bisa masuk.

Tuhan tak hadir dalam sempurna, Ia hadir dalam lubang kecil yang kau tutupi selama ini.

“Biarkan Aku masuk melalui retakmu, supaya kau tahu: kesucian bukanlah tanpa cela, tapi menerima cahaya lewat luka.”

Puisi X

Diam sebagai Doa

Doa bukanlah daftar keinginan. Ia adalah keheningan yang mendengar Tuhan bicara kembali.

“Duduklah,” kata-Nya, “Bersamaku. Biar waktu larut, biar dunia lalu, Aku ingin engkau diam bersamaku saja.”

Dan diam itu berubah menjadi tasbih.

Puisi XI

Menjadi yang Tak Ditunjuk

Di gua kecil peradaban, seseorang duduk tanpa nama, bukan karena kalah, tapi karena tak ingin dipuja.

Tuhan mendekat lewat debu: “Yang kusebut dalam kitab-Ku bukan yang dielu-elukan, tapi yang menyembah-Ku saat tak dilihat.”

Tak terlihat bukan berarti tak bermakna. Tuhan hadir dalam getar sunyi yang tak dimuat berita.

Puisi XII

Melamun sebagai Revolusi

Saat dunia berlari, ia duduk di taman jiwa, memandang langit.

Tuhan berbisik: “Berpikir adalah ibadah yang tak berbunyi. Dan diam yang merenung adalah perlawanan terhadap dunia yang terburu.”

Melamun bukan malas, tapi jalan pulang yang tertutup semak agenda.

Puisi XIII

Cermin Tanpa Nama

“Siapa aku?” Ia bertanya bukan pada manusia, tapi pada luka.

Dan Tuhan menjawab: “Kau adalah keberanian untuk melihat tanpa topeng. Kau adalah nama yang kutulis di balik dinding rahasia.”

Cermin tak beri nama, tapi memantulkan keberanian.

Puisi XIV

Menolak Menjadi Fotokopi

Tuhan tak menciptakan duplikat. Ia meniupkan roh berbeda pada tiap jiwa.

“Jangan kau salin hidup orang,” kata-Nya. “Karena Aku menciptakanmu sebagai satu syair utuh. Bukan catatan kaki dari buku orang lain.”

Puisi XV

Cahaya yang Tak Ingin Dilihat

Ada cahaya dalam dada. Bukan untuk ditampilkan, tapi untuk dinikmati bersama Tuhan.

“Buka baju gelarmu,” kata-Nya. “Datang padaku sebagai jiwa, bukan jabatan.”

Cahaya tak butuh sorot. Ia butuh ketulusan untuk tinggal.

Puisi XVI

Surat dari Diri yang Hilang

Dalam mimpi, ia membaca surat berdebu: “Kau terlalu sibuk menjadi siapa-siapa, padahal aku tetap duduk di sini.”

Tuhan mengirim pesan bukan lewat email, tapi lewat rasa bersalah, rindu, dan tangis yang tak dimengerti.

“Diri sejati tak pernah pergi,” kata-Nya. “Hanya menunggu disapa.”

Puisi XVII

Jatuh sebagai Berkah

“Engkau jatuh bukan karena Aku benci,” kata Tuhan. “Tapi karena engkau lupa darimana kau berasal.”

Bumi memeluk bukan untuk menghukum, tapi untuk menyadarkan: bahwa kemuliaan bukan di atas, tapi di pelukan tanah.

Puisi XVIII

Jalan Pulang Tak Ada di Peta

Peta hanya tahu tempat, tapi jiwa tahu arah.

Tuhan berkata: “Arah bukan ditunjuk, tapi dirasakan. Dan kadang, jalan pulang bukan ke depan— tapi ke dalam.”

Puisi XIX

Sunyi, Sebelum Segala Nama

Sebelum kau disebut siapa-siapa, kau adalah diam.

Tuhan menciptakan semesta dari sunyi, bukan dari sorak.

“Datanglah padaku seperti sebelum kau diberi nama: tanpa label, tanpa peran. Hanya sebagai ruh yang ingin pulang.”

Puisi XX

Hidup sebagai Doa Tanpa Suara

Engkau tak perlu berbicara agar Aku mengerti. Tak perlu menangis keras agar Aku tahu.

“Jika engkau hidup jujur pada getaran jiwamu, maka seluruh hidupmu adalah doa.”

Dan ketika tubuhmu kupanggil pulang, Aku hanya akan bertanya: “Apakah engkau setia pada cahaya yang kutanamkan di dadamu?”

Karena keaslian adalah satu-satunya bahasa yang dikenang langit. (*)

Sumatera Barat, 2025