Ilustras : AI/ Syerih
Puisi Wahyu Iryana *)
Di meja tua, ia duduk sendiri,
seperti malam yang kehilangan bintang,
seperti luka yang tak ingin sembuh.
Asap tipis mengusap pipinya,
aroma pahit itu melayang,
mengingatkan sesuatu yang tak pernah pulang.
Ia menyesapnya perlahan,
seperti membaca kembali surat yang tak pernah dikirim,
seperti mengenang nama yang pernah ditiup angin.
Kopi hitam, pekat seperti janji yang tak ditepati,
dingin seperti genggam tangan yang melepaskan.
Di cangkir retak, rindu menetap,
rasa yang pahit, tapi selalu dicari,
seperti luka yang anehnya dirawat,
seperti kenangan yang sengaja dihidupkan kembali.
Ia mengaduknya tanpa alasan,
seakan ingin mengubah nasib yang sudah ditetapkan.
Gula tak pernah ada di sana,
seperti cinta yang hanya tinggal sisa.
Ia menatapnya,
seperti menatap mata yang dulu penuh cahaya,
kini redup, tenggelam dalam sesuatu yang tak bisa disebut.
Hanya ada kopi dan dirinya,
dan malam yang mengendap pelan di dadanya.
Dan di ujung sepi, ia sadar,
kopi hitam ini adalah dirinya sendiri,
pahit, pekat, tapi selalu dirindukan,
meski tak pernah benar-benar bisa dimiliki.
Dan Tahukah Kamu Kopi apa yang nikmat Rasanya?
Ia, itu Kopi yang ketika disruput langsung teringat senyummu. (*)
*) Penyair dari Negeri yang Diciptakan Tuhan Ketika Tersenyum