HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

‎Kulihat Indonesia di Balik Jendela Sekolah

September 25, 2025 08:44
IMG-20250925-WA0025

‎Puisi Anies Septivirawan

‎Angin dingin pagi kala itu:
‎Tiga puluh tahun lalu
‎Sudah menjadi lagu
‎Setiap selepas subuh
‎Aku mandi, memakai baju
‎Memasang  sepatu
‎Menuntut ilmu di sekolah
‎Bersama mereka
‎Teman dan handai taulan
‎Meraba – raba masa depan
‎Merangkai harapan

‎Aku dan mereka sebaya
‎Menatap tumpukan lembar pustaka
‎Di balik jendela sekolah
‎Kita membaca tentangmu
‎Indonesia… Indonesia… Indonesia
‎Di rak – rak buku sejarah
‎Yang memeluk sunyi 

‎Aku dan mereka sebaya
‎Kulihat Indonesia di lembar
‎Buku – buku sejarah

‎Aku dan mereka sebaya
‎Menatap selembar usang peta
‎Setiap datang dan pulang sekolah
‎Tentang Indonesia

‎Selembar  peta  usang
‎Menempel di tembok rapuh
‎Namun penuh wibawa
‎Aku dan mereka sebaya
‎Penuh kagum mengangguk
‎Ketika sang guru bercerita
‎Tentangmu, wahai negeriku

‎Yang aku dengar dari
‎Guru sejarah: “Indonesia, adalah
‎Negeri subur nan makmur,” begitu kata guru kita dengan nada bangga.

‎”Indonesia… penduduknya ramah kepada siapa saja, Indonesia punya nenek moyang handal menaklukkan badai di tengah laut samudera raya”  ujar guru sekolah di  kota tempat tumpah darah

‎Tapi itu hanya lisan sejarah
‎Sejarah yang tidak pernah
‎Kami jalani, tidak pernah kami alami

‎Di sekolah
‎Kami adalah para siswa
‎Yang memburu angka
‎Angka tertinggi di selembar ijazah

‎Agar kelak diterima bekerja
‎Di kantor – kantor pemerintah
‎Seperti kakek-nenek dan orang tua kita
‎Pada jaman setelah penjajahan Belanda

‎Di sekolah
‎Setiap upacara hari Senin
‎Kita harus menyanyikan
‎Lagu Indonesia Raya
‎Dengan telapak tangan kanan
‎Di dahi menghormat kepada
‎Sang bendera pusaka

‎”Indonesia Raya… merdeka… merdeka…
‎Tanahku… negeriku… yang kucinta….

‎Tetapi, lidahku seperti tersandung
‎Bongkahan batu kata – kata
‎Ketika harus melantunkan
‎Syair yang berbunyi
‎”Bangunlah jiwanya… bangunlah badannya… untuk Indonesia Raya…

‎Aku tertegun… lalu melumat dan
‎Menelan syair di dalam kalimat nan angkuh itu
‎Yah… syair itu angkuh
‎Karena jiwaku cengeng… jiwaku rapuh…

‎Jiwaku terlena oleh
‎Kekayaan sumber daya alam
‎Jiwaku pemalas karena
‎Tidak bisa merawat
‎Kekayaan khasanah budaya nusantara
‎Jiwaku telah terpesona dan jatuh cinta
‎Kepada budaya barat, jatuh cinta pada gaya hidup si mata biru. Dan ternyata para teman sebaya juga seperti aku.

‎Hatiku tidak terasa telah terjajah, dan mereka, teman sebaya
‎Telah terjajah hatinya

‎Sehingga datanglah… terbingkailah
‎Indonesia masa kini
‎Indonesia yang selalu kucemaskan
‎Indonesia yang mereka harapkan
‎Seperti selalu dikisah-kisahkan oleh guru sejarah kami tidaklah sama seperti Indonesia pada saat ini:  Indonesia pada puluhan tahun lalu, ada korupsi bersembunyi di balik taplak meja, dan hari ini,  ada korupsi di alam terbuka

‎Bahkan ada kompetisi korupsi
‎Derajat hidup melambung
‎Harus berlimpah uang
‎Dan segunung materi

‎Hal itu semuanya disebabkan
‎Karena aku dan para teman sebaya
‎Selalu membangun dan membentuk badan dengan pilar-pilar hewani 

‎Aku dan para teman sebaya
‎Lupa membangun jiwa
‎Untuk Indonesia Raya
‎Tumpah darah yang kan jadi sejarah
‎Atau kenangan

‎Hari ini, suara lagu Indonesia Raya
‎Perlahan menjauh dipeluk dan
‎Diseret angin senja
‎Ia hanya menggema di setiap hati
‎Tidak terucap, karena telah dijemput angin


‎Aku, dan para teman sebaya
‎Hanya bisa melihat Indonesia
‎Dari balik jendela sekolah
‎Berupa selembar peta
‎Yang bersandar di sebuah tembok kusam

‎Mari membangun jiwa
‎Mari merawat badan kita
‎Ayo mengguncang dunia
‎Dengan ujung pena
‎Agar tercipta merdeka
‎Dari sebuah kota
‎Untuk Indonesia Raya
‎Yang sebenarnya…..(*)

Situbondo, medio September 2025

Berita Terkait

Berita Terbaru