Puisi Anies Septivirawan
Angin dingin pagi kala itu:
Tiga puluh tahun lalu
Sudah menjadi lagu
Setiap selepas subuh
Aku mandi, memakai baju
Memasang sepatu
Menuntut ilmu di sekolah
Bersama mereka
Teman dan handai taulan
Meraba – raba masa depan
Merangkai harapan
Aku dan mereka sebaya
Menatap tumpukan lembar pustaka
Di balik jendela sekolah
Kita membaca tentangmu
Indonesia… Indonesia… Indonesia
Di rak – rak buku sejarah
Yang memeluk sunyi
Aku dan mereka sebaya
Kulihat Indonesia di lembar
Buku – buku sejarah
Aku dan mereka sebaya
Menatap selembar usang peta
Setiap datang dan pulang sekolah
Tentang Indonesia
Selembar peta usang
Menempel di tembok rapuh
Namun penuh wibawa
Aku dan mereka sebaya
Penuh kagum mengangguk
Ketika sang guru bercerita
Tentangmu, wahai negeriku
Yang aku dengar dari
Guru sejarah: “Indonesia, adalah
Negeri subur nan makmur,” begitu kata guru kita dengan nada bangga.
”Indonesia… penduduknya ramah kepada siapa saja, Indonesia punya nenek moyang handal menaklukkan badai di tengah laut samudera raya” ujar guru sekolah di kota tempat tumpah darah
Tapi itu hanya lisan sejarah
Sejarah yang tidak pernah
Kami jalani, tidak pernah kami alami
Di sekolah
Kami adalah para siswa
Yang memburu angka
Angka tertinggi di selembar ijazah
Agar kelak diterima bekerja
Di kantor – kantor pemerintah
Seperti kakek-nenek dan orang tua kita
Pada jaman setelah penjajahan Belanda
Di sekolah
Setiap upacara hari Senin
Kita harus menyanyikan
Lagu Indonesia Raya
Dengan telapak tangan kanan
Di dahi menghormat kepada
Sang bendera pusaka
”Indonesia Raya… merdeka… merdeka…
Tanahku… negeriku… yang kucinta….
Tetapi, lidahku seperti tersandung
Bongkahan batu kata – kata
Ketika harus melantunkan
Syair yang berbunyi
”Bangunlah jiwanya… bangunlah badannya… untuk Indonesia Raya…
Aku tertegun… lalu melumat dan
Menelan syair di dalam kalimat nan angkuh itu
Yah… syair itu angkuh
Karena jiwaku cengeng… jiwaku rapuh…
Jiwaku terlena oleh
Kekayaan sumber daya alam
Jiwaku pemalas karena
Tidak bisa merawat
Kekayaan khasanah budaya nusantara
Jiwaku telah terpesona dan jatuh cinta
Kepada budaya barat, jatuh cinta pada gaya hidup si mata biru. Dan ternyata para teman sebaya juga seperti aku.
Hatiku tidak terasa telah terjajah, dan mereka, teman sebaya
Telah terjajah hatinya
Sehingga datanglah… terbingkailah
Indonesia masa kini
Indonesia yang selalu kucemaskan
Indonesia yang mereka harapkan
Seperti selalu dikisah-kisahkan oleh guru sejarah kami tidaklah sama seperti Indonesia pada saat ini: Indonesia pada puluhan tahun lalu, ada korupsi bersembunyi di balik taplak meja, dan hari ini, ada korupsi di alam terbuka
Bahkan ada kompetisi korupsi
Derajat hidup melambung
Harus berlimpah uang
Dan segunung materi
Hal itu semuanya disebabkan
Karena aku dan para teman sebaya
Selalu membangun dan membentuk badan dengan pilar-pilar hewani
Aku dan para teman sebaya
Lupa membangun jiwa
Untuk Indonesia Raya
Tumpah darah yang kan jadi sejarah
Atau kenangan
Hari ini, suara lagu Indonesia Raya
Perlahan menjauh dipeluk dan
Diseret angin senja
Ia hanya menggema di setiap hati
Tidak terucap, karena telah dijemput angin
Aku, dan para teman sebaya
Hanya bisa melihat Indonesia
Dari balik jendela sekolah
Berupa selembar peta
Yang bersandar di sebuah tembok kusam
Mari membangun jiwa
Mari merawat badan kita
Ayo mengguncang dunia
Dengan ujung pena
Agar tercipta merdeka
Dari sebuah kota
Untuk Indonesia Raya
Yang sebenarnya…..(*)
Situbondo, medio September 2025