Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Penulis : Albertus M. Patty
Di kamar sempit itu, waktu melambat
Ayah terbaring, kurus dan lemah
Bola matanya menari di ambang sakit
Rintih perlahan, menahan luka yang tak bersuara
Ibu keluar mendekapku seolah mencari pegangan
Tangisnya menjelma rintik hujan
Seperti gelombang menelan karang
“Ayahmu akan mati,” katanya dengan suara retak
Aku terdiam, hatiku luruh
Kata protes keluar, dari mulutku:
“Itu vonis dokter, bukan Tuhan”
Tapi siapa yang bisa menawar takdir?
Ibu tak mendengar, atau tak ingin percaya
“Jika ayahmu pergi, aku ikut”
Tangisnya seperti tsunami
Menghempas benteng rapuh di jiwaku
Aku takut, lebih dari kematian itu sendiri
Jika mereka pergi, di mana aku?
Siapa yang akan membimbing?
Di mana Tuhan dalam gelap ini?
Tapi ibu tiba-tiba berdiri
Matanya berkaca, tangannya dingin
“Panggil saudara-saudaramu,” katanya
“Kita berdoa untuk ayah”
Di tepi pembaringan, kami menggenggam harap
Satu per satu mengucap doa
Suaraku gemetar, doaku pendek: “Tuhan pulihkan ayahku”
Bagaimana bisa beriman di tengah kehancuran?
Tiba giliran ibu, ia diam lama
Wajahnya basah oleh air mata
Aku bersiap menopangnya jika ia tumbang
Aku tahu betapa rapuhnya dia
Tapi ketika suaranya pecah dalam doa
Aku mendengar sesuatu yang asing
“Bila Engkau mau, ambillah. Aku lebih bergantung padaMu,” katanya
Aku terperangah, ia menyerah total
Ini bukan pasrah, ini lompatan iman,
Leap of Faith, kata Kierkegaard
Ketika manusia tak lagi berpegangan
Hanya jatuh, ke dalam tangan Tuhan
Aku menoleh ke ayah, tubuhnya lega
Napas terakhirnya panjang
Lalu ia terdiam, kembali ke asalnya
Dan aku? Aku hanya diam, tak ingat apa-apa lagi
Di dalam duka, aku melihat cahaya
Bukan kepastian, tapi ketenangan dalam peganganNya
Lompatan iman membawa kami pulang (*)
Jakarta, 11 Februari 2025
Catatan: Momen ayah dipanggil pulang ke Rumah Bapa.