Agus Marsudi
Malam ke-29 hujan berlama-lama menyiram bumi, 10 jam siapa yang bisa menghentikan, untuknya biji-bijian tumbuh, sepenuh-penuh mimpi petani, bulir padi berisi.
Mendung memang tak berarti hujan, tapi hujan tak mungkin turun tanpa awan.
Musim tak lagi bersahabat, dengan angin, angin tak lagi bersahabat dengan awan, awan tak lagi bersahabat dengan siapa. Hujan tak bertegur, siapa gubernur. Tak bersapa siapa penguasa. Urusan duniawi, fihi mafihi.
Malam-malam puasa adalah taman rindu, lelah tapi pasrah, berharap ampunan dan berkah. Setiap huruf dari itikaf yang menghidupkan sunyi adalah zikir yang suci. Ia keheningan yang mengalir dari mata air sorga tiada henti.
Bersandar di pilar utama jam dua, masjid kampus Gadjah Mada, alHasyr kuderes-baca, Asmaul Husna yang mulia.
Huwallaahul-ladzii la Ilaaha illa huwa al-Malikul Qudduusus-Salaamul Mu’minul Muhaiminul-‘Aziizul Jabbaarul-Mutakabbir
Malam yang lebih baik dari seribu bulan itu bersemayam di hati. Ia tadarus cinta yang berbunga, khairum minaddunya wama fiha. (*)
Yogya, 29 Maret 2025