HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Mazmur Pengadilan

February 7, 2025 13:53
IMG_20250207_135040

Ilustrasi : AI/ Hatipena
Puisi : Albertus M. Patty


Refleksi Puitis Atas Mazmur 7
(Untuk Sahabatku Tony Budidjaja)

HATIPENA.COM – Tuhan, mereka mengejarku seperti kuda liar,
mengangkangi hukum yang menjadi mercu suar,
menginjak-injak keadilan dengan sepatu berlumpur,
sementara aku, si bodoh yang percaya,
berdiri sendiri dalam dakwa pengadilan yang diputarbalikkan.

Kata mereka, aku anjing jalanan yang menggonggong,
padahal mereka yang mengunyah daging rakyat
dengan gigi emas dan tawa yang licin.
Aku hanya punya suara, tetapi mereka punya palu pemutus nasib.

Jika aku salah, Ya Tuhan, lemparkan aku ke lubang yang dalam,
tetapi jika aku benar, biarkan mereka tersandung
oleh batu yang mereka lempar ke kepalaku.
Sebab Engkau bukan hakim yang bisa disuap.

Aku tidak takut, Tuhan, meskipun dunia penuh tukang fitnah.
Mereka tersenyum seperti sahabat,
tapi mengasah belati di belakang bajuku.
Tak ada kawan abadi di sini, hanya kepentingan yang tak mati.

Orang-orang fasik membangun istana dengan sumpah palsu,
Mulut mereka penuh bisa, seringai mereka menusuk sukma
kursi-kursi mereka dilapisi janji kosong,
dan aku, yang hanya ingin hidup lurus,
mereka timpuk dengan batu caci maki.

Mereka pikir Engkau buta,
seperti hakim yang pura-pura tertidur dalam persidangan.
Mereka pikir Engkau tuli,
seperti aparat yang hanya mendengar jeritan si kaya.

Tapi aku tahu, Tuhan, Engkau sedang menunggu,
seperti elang yang membiarkan tikus berpesta sebelum menerkam.
Engkau biarkan mereka tertawa,
supaya tangis mereka nanti lebih tajam dari pisau.

Aku takkan membalas, meski tanganku gemetar.
Aku tahu, lubang yang mereka gali,
sebentar lagi akan menjadi kuburan mereka sendiri.
Begitulah cara-Mu bekerja, tanpa perlu teriak atau gertak.

Orang jahat hamil dengan tipu daya,
melahirkan kebohongan dan menyusui dusta.
Tapi anak-anak mereka akan memakan mereka sendiri,
sebab kejahatan tak pernah tahu cara mencintai.

Aku akan menyanyikan mazmur di tengah reruntuhan,
di atas puing-puing kursi-kursi tiran.
Dan mereka yang dahulu mencibir,
akan gemetar saat Engkau mengetuk pintu mereka.

Tuhan, peganglah tanganku yang letih.
Aku ingin tetap waras, meski dunia makin edan.
Aku ingin tetap lurus, meski jalan ini penuh belokan licin.
Sebab di pengadilan-Mu, tak ada yang bisa menyogok keputusan. (*)

Jakarta, 7 Februari 2025