Ilustrasi : Terekota.id
Oleh: Wahyu Iryana *)
Di antara hujan dan angin yang menua,
aku melihat seorang lelaki menelan dunia.
Ia melipat cakrawala ke dalam mulutnya,
meneguk laut, menggulung gunung,
membiarkan burung-burung bersarang di dadanya.
Lelaki itu duduk di ujung dermaga,
menikmati matahari sore seperti permen asam.
“Kau tahu,” katanya,
“bumi ini sudah terlalu sering dikunyah,
tapi rasanya tak pernah selesai dicerna.”
Aku melihat lidahnya merah saga,
penuh rasa debu dan gelombang,
sepotong jalan tol terselip di giginya,
seekor ikan lele berenang di tenggorokannya.
Ia mengunyah kota dengan lampu-lampunya,
menelan gedung-gedung tanpa tersedak,
menyeruput asap pabrik seperti kopi pagi.
“Aku lapar,” katanya.
“Tiap hari aku menelan peta,
tapi dunia semakin terasa kosong.”
Aku bertanya,
“Kenapa kau telan semuanya? Bukankah dunia lebih baik jika kau tinggalkan sesuatu?”
Ia tertawa,
tertawanya bergaung di langit,
membuat awan bergetar dan jatuh seperti kapas.
“Aku hanya ingin tahu,” katanya,
“bagaimana rasanya memiliki dunia dalam perutku.”
Aku melihat matanya semakin berat,
langit di bola matanya mulai redup,
ia menguap dan dari mulutnya keluar kota-kota yang sudah lusuh,
sungai-sungai yang letih,
pasar-pasar yang kehilangan suara tawar-menawar.
Ia muntahkan kembali dunia yang pernah ia telan,
tetapi dunia tak lagi utuh.
Gedung-gedung kehilangan jendelanya,
burung-burung lupa caranya berkicau,
matahari terbit dengan malu-malu,
dan hujan jatuh tanpa basah.
Lelaki itu berdiri,
menatap dunia yang sudah ia kunyah-kunyah,
dan berkata lirih:
“Barangkali bukan dunia yang harus kutelan,
melainkan aku yang harus ditelan dunia.”
Angin datang dan membawanya pergi,
menjadi abu,
menjadi udara,
menjadi waktu yang tak bisa ditelan.
*) Penyair dari Negeri yang Diciptakan Tuhan Ketika Tersenyum.