(Untuk anakku yang hilang di layar gadget)
Oleh: Rizal Tanjung
Nak,
sekarang kau hidup di dalam layar
seperti roh yang memilih rumah dari kaca bercahaya.
Aku pernah menjadi dunia tempatmu belajar jatuh,
tapi kini kau lebih percaya algoritma
daripada nasihat dari tangan tua ini.
Dulu,
kau tanya padaku:
“Langit kenapa biru?”
dan aku menjawab dengan dongeng—
tentang dewa hujan dan burung api.
Sekarang, kau tanya Google,
dan jawabannya tak punya nyawa.
Aku ingin menjemputmu
dari balik story dan feed
tapi jejakmu terlalu dalam
di hutan pixel dan notifikasi.
Kau bicara pada layar,
lebih fasih dari bicaramu padaku.
Di rumah, kau hadir sebagai siluet
—mata menunduk, jari menari,
mengejar likes seperti mengejar pelangi
yang tak pernah kau lihat di luar jendela.
Nak,
aku bukan musuh dari dunia barumu,
aku cuma ayah
yang takut kehilangan anaknya
di tengah kota
yang sunyi tapi penuh sinyal.
Dulu kita membelah angin naik sepeda,
kau tertawa saat daun gugur di bahumu.
Kini kau scroll sore hari
tanpa melihat senja
yang mati perlahan di balik jendela kamarmu.
Aku tak ingin mencabutmu dari teknologi,
hanya ingin kau pulang sebentar
ke dalam percakapan yang tak butuh kuota,
ke pelukan yang tak pernah buffering.
Kalau suatu hari nanti,
kau lupa caranya menangis tanpa emoji,
atau tak ingat lagi suara langkah hujan di atap rumah—
ketahuilah,
kau sedang hilang…
pelan-pelan…
seperti notifikasi yang tenggelam
dalam ratusan pesan tak penting.
Dan saat itu terjadi,
aku tetap di sini,
menjadi notif yang tak pernah kau baca,
menunggu satu balasan:
“Ayah, aku pulang.” (*)
Sumatera Barat, 2025