Anto Narasoma
tanpa kabar,
kau tiba pagi ini
aku pun tenggelam
ke dalam badai kegelisahan
yang membanjiri perasaan
pintu air yang biasa berbahasa santun,
tiba-tiba melemparkan lawang timur yang berantakan
o, aku seperti sebongkah batu,
yang tenggelam
ke dalam catatan peristiwa
tak ada tutur kata
ketika banjir bagai tentara israel
yang menenggelamkan kesedihan anak-anak
dan orang tua
di sudut penderitaan panjang
lalu,
ribuan kubik airmata
membanjiri hatiku
tatkala badai
dan tendangan air datang ke celah-celah ketakutan warga kabupaten lebong
enam kecamatan
pada akhirnya tumbang
ke dalam ribuan kubik air
setelah banjir memberondong dengan kedalaman cuaca
maka rumah, perabotan, dan harta benda,
harus tergolek di bawah banjir yang tak berperasaan
haruskah kami
menjadi gelandangan
yang basah air mata
di enam kecamatan kabuten lebong bengkulu, Tuhanku?
Palembang,
5 Juli 2024
AIir Mata Tsunami Aceh
seperti kemarin,
aceh dan tsunami
berkejaran dalam kenangan
memori yang patah
di atas kejadian itu pun
menitikkan air mata
setelah jeritan orang-orang itu kabur
ke alam kubur
seperti keprihatinan,
air bah bagai badai
yang membentur ketakutan warga
sebab,
gempa pada 9,3 magnitudo itu mengguncang dadaku
di bawah samudera hindia yang melemparkan
kemarahan-Mu
tiba-tiba,
gelombang setinggi ketakutan warga, membawa ukuran kemarahan yang melanda berbagai kehancuran
tiada ampun,
ribuan malaikat
mengusung air bah
setinggi kematian
yang mencabut kisah pilu
dari potongan masalah
atas tsunami-Mu, Tuhanku
hanya masjid rahmatullah lampuuk,
mengucurkan kepedihan
di antara genangan
air mata tsunami pada desember 2004 (*)
Palembang, 29 Juni 2024