Ilustrasi : Meta AI/Mitha Pisano
Puisi Mitha Pisano
Aku telah mengenyam rasa getir di bibir luka,
meneguk setetes kepedihan dalam cangkir tanpa gagang,
dan meski pun pahitnya mengiris dada, namun
aku tetap menelannya dengan rasa cinta.
Kau datang bagaikan gerimis di musim kemarau,
menawarkanku kesejukan, walau hanya setetes,
dan aku yang dahaga ini,
bahkan sukarela menelan hujan badai,
jika itu datangnya darimu.
Pahitmu saja sudah seperti candu,
bagaikan malam yang menelan rembulan,
bagai angin yang menggenggam debu,
namun tetap kuhirup, tetap kusyukuri,
karena di dalamnya, ada jejakmu.
Jika kemarahanmu merupakan gelombang,
aku bagaikan karang yang rela diterpa,
andai sedihmu adalah api,
aku adalah kayu yang bersedia terbakar,
sebab aku tahu, setelah bara ini padam,
hangatmu pasti akan kembali menyelimuti diriku.
Kemudian, bagaimanakah jika manismu tiba?
Sekiranya senyummu adalah fajar,
aku bersedia menjadi malam yang menantinya,
andaikan kasihmu adalah angin,
aku adalah pohon yang pasrah dipeluknya.
Pahitmu saja kunikmati, apalagi manismu,
sebab mencintaimu adalah belajar untuk menerima,
dengan tidak memilih-milih rasa, dan
tanpa menakar-nakar seberapa luka,
sebab dalam dirimu,
pahit dan manis adalah satu.
Dan aku,
aku hanya ingin menegukmu sampai tetesan yang terakhir.(*)
Jakarta, 5 Maret 2022