Oleh: Rizal Tanjung
I
aku tidak tahu harus mulai dari mana—
mungkin dari suara sunyi yang tiba-tiba punya gema
di antara dua dinding karst
yang tampak seperti rahang bumi yang ingin bicara.
ini bukan hanya ngarai,
ini adalah surat cinta yang tak pernah dikirimkan langit kepada tanah
karena terlalu indah untuk dibaca siapa-siapa.
ada desir angin yang berjalan tanpa alas kaki,
menyentuh pundakku seperti kenangan yang belum selesai.
ada kabut yang pelan-pelan membungkus luka
dan menyebutnya pagi.
aku berdiri di sini,
di antara hijau yang tak hanya hidup,
tapi juga hafal perasaanku.
apa itu rindu
kalau bukan bayanganmu
yang terus jatuh
di setiap lekuk lembah ini?
jalan berliku seperti kalimat yang tak pernah tuntas,
dan sawah—
sawah itu menatapku
dengan tatapan yang pernah kau punya
waktu bilang:
“tenang saja, aku di sini.”
tapi kau tidak di sini.
yang ada hanya siluet gunung,
dan cahaya yang enggan menyilaukan—
seperti cinta yang tahu batas.
aku ingin menjelma pohon di lereng ini,
diam,
menyimpan semua perih
tanpa pernah gugur.
atau sungai yang mengalir di bawah
membawa rahasia yang tak sempat terucap,
mencari laut
yang mungkin juga sedang mencari seseorang.
panorama ini tidak menyejukkan,
ia menyayat,
pelan-pelan
dengan cara yang lembut.
dan aku,
aku membiarkannya.
II
Di pelukan pagi, saat embun masih menggigil
dan fajar menyulam langit dengan benang-benang biru lembut,
Ngarai Sianok membuka mata
seperti gadis ranum bangkit dari tidur panjang sejarah.
Di sana, lembah bukan sekadar lekuk bumi,
tapi rahim purba yang melahirkan mimpi-mimpi hijau.
Sawah-sawah seperti puisi yang belum rampung,
disulam garis-garis jalan bagai guratan takdir
yang digoreskan oleh pena Tuhan.
Gunung menjulang bagai kitab suci batu,
membisikkan kisah nenek moyang dalam bahasa angin.
Kabut melayang perlahan seperti doa yang belum terjawab,
menari lembut di antara luka-luka karst
yang diam-diam menyimpan air mata zaman.
Di bawah sana, rumah-rumah bersandar satu sama lain
seperti bait-bait syair yang saling menguatkan,
berpagar rimbun cinta alam dan dinding-dinding waktu
yang tak lelah melindungi gelak tawa anak-anak
dan nyanyian petani menantang mentari.
Ada jalan panjang membelah panorama,
seperti takdir yang membelah hati dua insan:
satu menuju pelukan, satu menuju perpisahan.
Tapi keduanya tetap melangkah,
karena hidup, seperti ngarai, adalah lengkung
yang tak selalu lurus namun penuh makna.
Langit biru bukan sekadar atap,
ia adalah cermin jiwa yang tak terucap,
memantulkan rindu daun kepada ranting,
dan cinta tanah kepada kaki yang menginjaknya.
Dan lihatlah!
Pepohonan berbaris rapi
seperti pasukan hijau yang bersumpah menjaga bumi,
menjadi saksi setiap desir angin,
setiap degup nyali,
setiap bisik rindu para pengembara
yang datang mencari sunyi,
dan pulang membawa damai.
Oh, Ngarai Sianok,
engkau bukan hanya lukisan alam—
engkau adalah puisi yang tak selesai-selesai
dibacakan oleh waktu,
diterjemahkan oleh jiwa yang masih tahu caranya kagum.
Engkau pelajaran paling sunyi
tentang bagaimana luka bisa menjadi lukisan,
tentang bagaimana deru bisa menjadi doa,
dan tentang bagaimana diam
adalah bahasa paling agung
yang pernah diciptakan semesta. (*)
Sumatera Barat, 2025.