Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Pesta di Langit dan Rakyat yang Menjerit

December 30, 2024 16:48
Ilustrasi: Artificial Intelligence/ Ririe Aiko
Ilustrasi: Artificial Intelligence/ Ririe Aiko

Puisi Ririe Aiko

Di langit yang penuh letupan warna-warni
Kembang api bersahutan di pergantian tahun baru
Namun awan pun berarak seperti parade luka

Negeri ini mendongak, meminta hujan tak bercampur air mata.

Pajak naik, seperti paku di dinding rapuh Menancap diam-diam, tak pernah diundang, tak pernah ditempuh
Sepiring nasi yang dulu cukup untuk sepagi,
kini tinggal separuh, disertai gulai harapan yang mati.

Kenaikan itu datang seperti hujan batu di musim kemarau
Menghantam padi di sawah, menenggelamkan nyawa di bawah bayang pisau.
Harga-harga menari di atas kepala
Sementara upah hanya langkah tertatih tanpa hala

Petani di ladang, menggenggam cangkul seperti menggenggam duri
Tiap butir keringatnya, dihitung, dirampas tanpa peduli
Pedagang di pasar, menatap kosong lapak yang redup
Menganyam mimpi dari sobekan kenyataan yang kian surut

“Negeri ini milik siapa?” suara samar terdengar lirih
Milik mereka yang kenyang, atau kami yang perih?
Pajak mengalir bagai sungai deras ke muara kuasa
Namun di hilir, rakyat hanya meneguk ampas derita
Apa artinya kerja keras
Jika peluh hanya menjadi umpan bagi kerakusan tak terbalas?
Apa artinya rumah sederhana
Jika atapnya harus dijual untuk membayar kewajiban negara?

Di kursi megah, keputusan ditulis dengan tinta emas
Namun tinta itu tak mengenal wajah kami yang lelah dan culas
Apa arti janji keadilan
Jika beban selalu memihak si lemah yang dibiarkan bertahan?

Jika keadilan adalah timbangan
Mengapa beban selalu jatuh di pundak si miskin yang kepayahan?
Bukankah negara adalah ibu yang menyusui anaknya?
Bukan serigala yang memangsa darah dagingnya
Mengapa si kecil selalu dipinggirkan seperti anak tiri yang bisu?

Bukankah pajak itu darah rakyat?
Mengalir untuk menyuburkan tanah, bukan untuk diserap tanpa berkat?
Bukankah pajak itu membangun?
Bukan menghancurkan mereka yang menjadi fondasi daratan

Kami hanya ingin berdiri
Dengan kepala tegak di negeri sendiri.
Bukan sebagai beban
Tapi sebagai jiwa, yang layak dihargai dalam kehidupan.

Bandung, 30 Desember 2024