Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Puisi Barisan Doa yang Menyala

April 28, 2025 13:56
IMG-20250428-WA0059

Untuk Hari Puisi Nasional

Oleh: H. Wahyu Iryana *)

Angin mengirim bau tanah,
daun-daun menunduk dalam dzikir diam,
matahari menyeka peluh dari wajah sawah,
dan aku menulis:
sebuah kata
sebuah nyala
sebuah luka
yang tak selesai.

Wahai tanah yang menggenggam nadi,
waktu-waktu kita
adalah puisi yang dibisikkan
antara azan subuh dan kokok ayam,
antara ladang garam dan ombak yang sujud,
antara buruh kecil yang menyanyikan
janji-janji malam kepada roti keras di meja.

Puisi, katamu,
adalah pisau,
tapi juga bantal bagi yatim.
Adalah perahu
tapi juga kuburan bagi kelasi tua.
Adalah doa
yang tidak pernah selesai dilafalkan.

Di hari ini
hari puisi nasional
kita menghamparkan kata-kata
seperti sajadah panjang,
kita menyusun suara
seperti kubah masjid tua
yang masih menahan hujan
dan kemarau panjang.

Puisi adalah sayatan pertama
ketika ibu memotong ari-ari di rumah bambu,
puisi adalah teriakan kecil
ketika seekor kuda lepas dari tambatannya,
puisi adalah kerlingan bulan
yang meneteskan embun ke dalam palung malam.

Siapa yang bisa mengukur dalamnya luka
dalam sebaris puisi?
Siapa yang bisa menjaring cinta
dalam satu bait seribu airmata?

Aku ingat ayahku,
berdiri di depan langgar,
menggumamkan doa
seperti suara gamelan jauh.
Tak tahu, saat itu,
bahwa suaranya adalah puisi,
yang menghidupkan malam-malamku
di kemudian hari.

Puisi bukan milik para sastrawan.
Puisi adalah milik ibu-ibu pasar,
yang menghitung recehan dengan senyum sabar,
milik petani renta,
yang menengadahkan tangan
kepada hujan yang mungkin tak turun.
Milik anak-anak
yang berlari mengejar layang-layang
di kampung yang hampir dilupakan peta.

Hari ini,
aku mendengar seribu suara …
suara pantai, suara gunung, suara sungai,
semua berpadu
menjadi orkestra
dalam dada bangsa ini.
Hari ini,
aku ingin menulis satu puisi saja:
puisi tentangmu, Indonesia,
yang berdarah, bertaruh, bersabar, dan bercahaya.

Mari,
kita ukir hari ini dengan puisi:
dengan kata-kata yang jujur seperti embun,
dengan huruf-huruf yang membasuh luka,
dengan suara-suara
yang bangkit dari sumur batin paling dalam.

Karena puisi bukan hanya nyanyian,
tetapi kesaksian.
Puisi adalah sungai
yang mengalirkan keringat nenek moyang kita,
puisi adalah langit
yang menampung peluh, darah,
dan mimpi-mimpi kecil
anak-anak jalanan yang bermata bintang.

Di Hari Puisi ini,
aku hendak menyerahkan selembar hatiku,
seperti keris diserahkan kepada anak sulung:
tajam dalam cinta,
tajam dalam menjaga.

Biar kata-kata ini
menjadi bekal dalam perjalanan kita,
biar kata-kata ini
menjadi pelita
di jalan panjang pulang ke rumah jiwa.

Karena pada akhirnya,
hidup adalah puisi panjang
yang kita tulis dengan darah,
dengan air mata,
dengan tawa,
dengan keyakinan bahwa
di balik segala derita dan suka,
ada yang lebih abadi:
cinta. (*)

Bandarlampung, 2025

*) Penyair dari Tanah Pasundan Tanah yang lahir ketika Tuhan tersenyum