Oleh : Nurul Jannah
Pasar kota: riuh bising,
bertabur warna,
rempah-rempah membangkitkan kisah
dari ujung dunia.
Pematang desa: sunyi,
hijau berbisik doa,
tawa anak-anak memecah cakrawala senja hingga langit bergetar.
Indonesia berdenyut di antara denyut pasar
dan hembusan sawah,
di gerobak sayur yang berderit letih namun setia,
dan di langkah guru desa yang menembus kabut dengan mimpi yang tak pernah menyerah.
Rindu Nusantara ini bukan bayang masa lalu,
ia darah dan doa yang menyala di setiap nadi kita.
Ketika aku berjalan di gang kota yang padat dan panas,
bau sate menyatu
dengan asap knalpot:
menusuk malam,
mengguncang kenangan,
tetapi di situ juga kurasakan pelukan hangat Nusantara.
Dan saat aku berdiri di pematang sawah yang basah,
mendengar jangkrik merobek sunyi dengan nyanyian yang getir namun indah,
aku tahu:
inilah tanah surga yang Allah titipkan untuk dijaga.
Kota dan desa saling memanggil dalam rindu yang tak mengenal waktu,
seperti dua sayap perkasa Garuda,
tanpa salah satunya,
Indonesia hanyalah sayap patah; takkan pernah terbang tinggi.
Di kejauhan, laut Nusantara berkilau bagai cermin doa,
gunung-gunungnya memegang langit dengan tangan kokoh dan sabar,
ombak dan angin menyulam pulau-pulau dalam pelukan yang tak terungkap kata,
mengingatkan:
keragaman ini adalah kekuatan yang abadi dan takkan pernah pudar.
Maka genggamlah pasar dan pematang itu dengan cinta yang tak goyah.
Di balik riuh dan sunyi, ada jiwa Nusantara yang menunggu dijaga.
Jangan biarkan ia membeku jadi dongeng tanpa penjaga,
biarkan ia hidup, berdenyut, dan menghentak langit
bersama doa-doa kita. (*)
Bogor, 21 September 2025