Ilustrasi AI/Mitha Pisano
Puisi Mitha Pisano
Di pelupuk mata, bayang itu begitu terang benderang,
wajah-wajah yang duhulu hangat saat kupeluk,
kini mereka hanya hadir dalam ingatanku,
di antara kesunyian yang kian merasuk.
Ayah, engkau adalah cahaya yang tak pernah padam,
kisah-kisahmu mengalir di helaan nafasku,
namun tanganku kini tak lagi bisa meraba,
hanya doa yang bisa menggapaimu ke langit kelabu.
Ibu, engkau tempatku berlabuh dahulu,
wajah teduhmu yang kurindu selalu,
tapi kini hanya sepi yang menjelang,
lebaran hambar tanpa hadirmu, tanpa kecupan di dahimu.
Dan kalian, dua lelaki belahan jiwaku,
jantung dan hatiku yang jauh di sana,
di negeri asing yang memisahkan raga kita,
membiarkan rindu ini menjadi sebuah luka.
Bagaimana aku bisa merayakan hari suci,
tanpa genggaman hangat dan tawa merdu kalian?
Bagaimana aku bisa melepas kesedihan,
jika kehilangan terus mengiringi waktu?
Tetapi aku tahu, rindu ini sangatlah suci,
menjadi doa yang tak pernah terhenti,
biarkanlah air mata ini akan menjadi saksi,
bahwa cinta tak pernah terhapus oleh jarak dan mati.
Di langit malamyang kelam, aku berbisik lirih,
“Ya Rabb, sampaikan rinduku yang perih,
dekaplah mereka dalam kasih sayang-Mu,
hingga kelak kami bisa bersatu lagi dalam restu-Mu.”
Tanah kelahiranku, 25 Maret 2025