Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Puisi Wahyu Iryana *)
Di meja kayu yang lelah,
sebatang rokok berdiri setengah pasrah.
Ia belum sempat dihisap,
belum sempat menyala,
tapi sudah merasa berdosa.
“Sebentar lagi imsak,” bisik angin dari jendela,
mengingatkan bahwa malam sudah tua
dan azan subuh sedang merapikan langkahnya.
Rokok itu menatap pemiliknya,
seorang lelaki dengan mata sayu,
memegang korek api seperti memegang harapan,
ragu-ragu antara menyalakan atau memadamkan niat.
Dari kejauhan, suara sahur tersesat di gang-gang,
sendok dan piring berdiskusi tentang lapar
yang sebentar lagi harus istirahat.
Lelaki itu menghela napas,
rokok masih di tangannya,
dalam sunyi yang penuh pertimbangan.
II
Rokok itu ingin berdoa,
tapi tidak tahu harus membaca doa apa.
Ia hanya benda kecil yang terbiasa dibakar,
ditinggalkan jadi abu,
lalu dilupakan begitu saja.
Apakah ini nasib atau takdir?
Apakah ia diciptakan untuk menemani sepi
atau hanya untuk dihindari?
Dari dapur, suara gelas berdenting,
seperti percakapan rahasia antara air dan cangkir.
Lelaki itu menyesap pikirannya sendiri,
menimbang dosa dalam kepulan yang belum sempat ada.
III
Waktu berjalan seperti sumbu yang terbakar pelan.
Lelaki itu menatap jam dinding
yang tak pernah lelah mengingatkan:
Imsak, imsak.
Jari-jarinya menggenggam rokok lebih erat,
seakan di dalamnya ada jawab dari segala resah.
Tapi di luar, ayam sudah berkokok,
langit mulai membuka tirai fajar,
dan ia tahu, waktunya sudah habis.
Dengan satu gerakan pelan,
rokok itu diletakkan kembali di meja.
Tidak dinyalakan. Tidak dihisap.
Dibiarkan berpuasa lebih dulu.
Lelaki itu tersenyum kecil,
mungkin hari ini ia menang.
Atau mungkin, justru rokok itu yang menang (*)
Lampung, 01 Maret 2025.
*) Penyair dari Tanah yang Diciptakan Tuhan ketika Tersenyum.