Puisi Ririe Aiko
Di meja ini, aku masih duduk, Bu,
menghadap piring yang kau tata dulu,
tapi kali ini, hanya sepi yang menemaniku,
dan doa-doa yang kusemat di ujung sujudku.
Dulu, kau sibuk di dapur,
uap hangat dari panci mengaburkan wajahmu,
namun aku tahu, di baliknya, senyum itu selalu ada,
senyum yang lebih manis dari teh melati buatanmu.
“Kita berbuka bersama,” katamu dulu,
tanganku kau genggam, kau sisihkan kurma,
lalu suaramu lirih bergetar dalam doa,
menyelipkan namaku di antara harapan yang kau titipkan pada-Nya.
Tapi kini, suara itu telah sirna,
tinggal gema yang merayap di dinding rumah,
dan aku, berbuka dengan rindu yang pahit,
sebab tak ada lagi tanganmu yang menyentuh jemariku.
Ibu, apakah di sana kau masih menyiapkan meja?
Apakah surga memberimu dapur kecil untuk meracik cinta?
Ataukah kau hanya tersenyum dari kejauhan,
menungguku berbuka dalam pelukan yang lebih abadi?
Azan berkumandang, aku menyentuh gelas,
namun air ini tak dapat menghapus dahaga,
sebab yang kurindukan bukan hanya berbuka,
tetapi hadirmu, yang tak lagi ada. (*)
.