L K Ara
Inilah surat dari tanah Gayo,
Kutulis dengan tinta air mata kesedihan,
Dari desa yang sunyi, dikelilingi tusam,
Hutan berabad, warisan nenek moyang.
Kami tinggal di tanah yang subur,
Ratusan ribu hektar hijau membentang.
Namun, untuk memasak dengan sebatang ranting,
Kami bisa terpenjara, di atas tanah sendiri.
Kabarnya, Pak Prabowo,
Anda diberkahi tanah yang luas.
Namun kami, yang hanya ingin hidup,
Dibatasi pagar-pagar aturan
Terasing di tanah yang kami rawat dengan cinta.
Kami adalah penjaga tradisi,
Penari guel, saman penjaga didong,
Tarian kami adalah doa yang bergerak,
Lagu kami adalah harapan yang menyala.
Namun kini, irama kami tersendat
Oleh duka yang tak kunjung reda.
Hutan ini adalah jiwa kami,
Akar yang tak bisa dipisahkan dari tanah.
Di bawah bayang-bayang pohon tua,
Kami berjalan dengan kepala tertunduk,
Takut menyentuh apa yang seharusnya milik kami.
Kami percaya, Pak,
Bahwa pemimpin adalah pelindung rakyat,
Bahwa suara kecil seperti kami
Masih didengar di negeri yang katanya adil ini.
Kami hanya ingin hidup,
Hidup layaknya pohon-pohon hutan ini,
Tumbuh, berakar, dan memberi manfaat.
Kami hanya ingin napas,
Udara segar yang masih bisa kami hirup,
Seperti doa yang tak pernah putus.
Bapak Prabowo,
Kami memohon dengan hati yang tulus:
Berikan kami hak kami,
Agar kami bisa hidup layak di tanah warisan ini.
Tanah ini bukan sekadar bumi,
Ia adalah sejarah, budaya, dan iman kami.
Kami bersujud di atasnya,
Berdoa agar Tuhan mendengar,
Dan semoga, Anda juga mendengar.
Dengan penuh harap dan sabar,
Kami menunggu keputusan bijak,
Sebagai anak bangsa yang ingin menjaga,
Bukan merusak.
Dari Gayo yang sunyi,
Kami menunggu,
Dengan harap yang tak pernah mati. (*)
Kalanareh, 21 Januari 2025