Kampus UIN RIL (Foto: Humas)
Puisi Wahyu Iryana *)
di bawah langit yang tak henti-henti menampung doa
kampus ini tumbuh, merimbun, menyeruakkan hijau
seperti dzikir yang tak selesai-selesai,
daun-daun di pohon trembesi bergetar pelan,
menghitung angin, menghitung langkah-langkah yang datang dan pergi
di sini, pagi membuka pintu dengan suara burung
lantunan ayat suci bersahutan dengan desir angin
ada yang datang dengan harapan, ada yang duduk menunggu jawaban
ada yang berdiri di depan kelas, mengucapkan kata-kata
yang lebih tua dari tanah yang dipijak
di halaman masjid, sandal berjajar seperti doa-doa yang tak tertata
mereka yang datang membawa beban, pergi dengan dada lebih lapang
dan di antara lantai yang dingin, ada jejak sujud yang tak terlihat
tetapi terasa—seperti kenangan, seperti rindu yang tak perlu disebutkan
perpustakaan menyimpan ratusan lembar keheningan
di antara rak-rak buku, waktu tertidur sebentar
beberapa mahasiswa mencatat nasibnya di halaman-halaman jurnal
selebihnya, diam dalam kontemplasi,
bertanya pada diri sendiri: akan menjadi apa aku nanti?
langit UIN Raden Intan sering membawa hujan
dan setiap tetesnya jatuh di pelataran dengan lembut
seperti doa seorang ibu di subuh yang sendu
mungkin hujan itu adalah air mata ilmu yang turun dari langit
membasahi tanah, lalu tumbuh menjadi pohon hikmah
di kantin, gelak tawa berbaur dengan aroma kopi
seorang mahasiswa membaca buku filsafat, matanya setengah sayu
di seberangnya, yang lain sibuk berdiskusi soal revolusi
dan di meja sudut, seorang gadis menulis puisi tentang perpisahan
mungkin tentang seseorang, atau mungkin tentang dirinya sendiri
pada sore yang temaram, ketika lampu-lampu mulai menyala
kampus ini seperti taman kecil di tengah kota
senyap, tetapi penuh kehidupan
ilmu mengalir di antara bangunan-bangunan
seperti sungai yang mencari muara
dan esok pagi,
pintu gerbang akan kembali terbuka
seperti hati yang menunggu cahaya (*)
*) Penyair dari Kota Kembang, Kota yang Diciptakan Tuhan Ketika Tersenyum.