Pipiet Senja
Pukul dua dinihari, telepon berdering pertama kalinya.
“Assalamualaikum…,” sambutku.
“Ibu Pipiet… Ini saya hanya mengingatkan saja untuk qiyamul lail,” berkata seorang kru Cordova Abila.
“Oya, jazakillah Mas…. Insya Allah kami akan segera turun….”
Telepon diletakkan, aku pun mencoba membangunkan Aisha dan Marlen. Sulit, karena keduanya kutahu memang belum lama pulang dari acara tawaf-tawafan di luar Baitullah alias belanja-belanji.
Bahkan hingga aku telah rapi mengambil wudhu dan mengenakan mukena, keduanya belum juga bangun.
Ya sudahlah, aku pergi sendirian saja, pikirku.
Begitu senyap dan lengang sekali di sekitar koridor lantai satu, sesungguhnya ini tingkat tiga. Namun, aku sama sekali tidak merasakan aura ketakutan, selain perasaan ringan dan ghirah untuk memperbanyak amalan ibadah semata karena Allah.
Di lift seperti biasa jumpa dengan rombongan jamaah Turki. Kali ini tiga perempuan muda, seorang ibu sepuh, dan seorang bapak-bapak. Mereka langsung terdiam begitu aku bergabung ke dalam lift.
Aku suka mencermati perilaku jamaah dari berbagai pelosok dunia. Kulihat jamaah Turki dan Iran selalu kompak. Kalau berbusana hitam, semuanya hitam saat di Madinah. Memasuki Mekah, kunampak mereka berganti warna dengan gamis serba putih yang berbelit-belit, entah berapa meter panjangnya.
Apabila memasuki kawasan riskan seperti Hajar Aswad atau Raudhah, maka mereka pun akan membentuk pagar betis yang kuat sekali. Sehingga mereka akan dengan mudah membuyarkan kelompok kecil, apalagi yang berjalan sorangan wae…. Waaa, bablaaas ambyaaar deh!
“Assalamualaikum,” sapaku mencoba beramah-tamah dan tersenyum manis ke arah mereka.
“Wa alaikum salam…,” sambut mereka hampir serempak.
“Go to qiyamul lail, Sis?” tanya si ibu sepuh.
“Yes Ma’am, Qiyamul lail….” sahutku.
Sama euy, namanya juga Muslim yah?
“Not your friend, Sis?” Terdengarnya begitulah di kupingku.
“Eh…, yeah, no, I’m…, sorangan wae….”
Hihi, kunampak mereka mengerutkan dahi, pasti kagak ngarti tuh.
Di lobi kami berpisah. Langkah mereka panjang-panjang dan bergegas sekali. Aku nikmati saja kesendirian, sejak lawang hotel Dar Al Tawhid yang disambung dengan semacam permadani menuju pintu Masjidil Haram bernomer 79. Sungguh kemudahan yang nikmat, gumamku masih juga berdecak tak putus mensyukurinya.
“Baik, kali ini aku mau coba nikmati kesendirian di lantai dua,” gumamku pula sesampai di lawang Masjidil Haram, kemudian kunaiki undakan tangga di sebelah kanan.
Subhanallah, inilah kesunyian panjang yang berbalun kesahduan untuk meraih ampunan Ilahi Rob. Lengang memang, hanya satu-dua kunampak jamaah sedang mendirikan qiyamul lail. Kucermati beberapa saat sekelilingku.
Hm, baiklah, rasanya aman, insya Allah. Allahu Akbar, gumamku, aku berserah diri kepada-Mu, ya Robb.
Beberapa saat kunikmati kesyahduan rakaat demi rakaat, selang-seling dengan doa panjang, dzikir bercampur lelehan airmata yang selalu tak bisa kutahan, entahlah!
Buncah begitu saja. Ya, kuakui selama umroh ini begitu gampang airmataku berlinang. Seolah-olah ada segara airmata di kelopak mataku yang setiap saat dapat tumpah, meluap dan melaut ke mana-mana, duhai!
Aduuuh, inilah si Tegar, julukan untukku dari Helvy Tiana Rosa.
Namun di sini, di rumah Allah, kenyataannya tak ada tegar lagi. Inilah agaknya sejatinya diriku, begitu gampang melelehkan airmata. Seolah-olah tiap sudut, tiap inci jejak Rasul ada daya magnet untuk membetot, sekaligus meruntuhkan segala benteng yang selama ini demikian kuandalkan, sebagai pertahanan menyikapi duka-nestapa kehidupan.
Entah berapa lama kubiarkan diriku dibuai pesona Baitullah, sampai suatu saat mataku terpicing. Ya Allah, siapa yang duduk menghadap ke arahku di barisan depan itu? Bukankah tadi tak ada siapapun di sana? Sosoknya tinggi besar, tapi kuyakin dia sejenisku, sesama perempuan.
Seketika aku teringat akan peristiwa Raudhah di Masjid Nabawi beberapa hari yang lalu. Tidak, Tuhanku, hamba tak ingin mengulang kekhilafan dengan menafikan ciptaan-Mu. Kumohon, perkenankan hamba mencium wangi surgawi dari siapapun dia, ceracauku dalam hati.
Oops…, sosok itu tiba-tiba bangkit, kemudian bergerak begitu cepat mendatangiku. Aku terperangah hebat, tahu-tahu dia sudah berhadapan muka denganku, duduk tepat di sebelah kananku.
“Assalamualaikum…,” sapanya lembut.
“Eh, iya iya… wa alaikumsalam,” sahutku tergagap-gagap, tak berani memandang wajahnya, kutundukkan kepalaku dan berusaha keras kembali membilang tasbih di antara jari-jemariku.
Fheeew!
Seketika hidungku mencium aroma wangi yang tak pernah kurasai sebelumnya sepanjang hayatku.
Ajaib, aroma yang sangat nikmat itu dalam sekejap serasa memabukkan, membuatku semakin menundukkan kepala dan wajahku dalam-dalam, menekuri hamparan sajadah, dan memaksa mulutku kembali berdzikir dengan khusuknya.
Dan aku mengapung, aku mengawang dalam dzikrullah. Entah berapa lama kurasai nikmatnya aroma… Duhai, inikah yang disebut wangi surgawi?
Taaappp!
Mataku kembali terpicing, bibirku kini terkatup rapat, serapat-rapatnya.
“Ke mana, ya, dia yang tadi duduk di sebelah kananku sini?”
Hanya bertanya dalam hati tanpa ada yang menjawab.
“Subhanallah… alhamdulillah, terima kasih… Ya Robb, Engkau telah melimpahiku nikmat wewangian seperti tadi,” lirihku seorang diri.
Ya, tak ada siapapun lagi di barisanku selain kesunyian yang nikmat.
Maka, aku pun paham sudah, mengapa ada riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW menyukai kesunyian.
Sebab di tengah kesunyian memang ternyata akan kita temukan helai demi helai, dan sayap demi sayap kesahduan, keagungan dan nikmat-Nya yang tak tepermanai. (*)