Kesadaran Ekonomi dalam Penutup Surat Al-Baqarah
Ali Samudra | Penulis
Pembina Yayasan Masjid Baitul Muhajirin, Pondok Kelapa, Jakarta Timur
HATIPENA.COM – Tidak banyak yang menyadari bahwa di penghujung Surat Al-Baqarah — surah terpanjang dalam Al-Qur’an — Allah menutup rangkaian hukum, sosial, dan ekonomi dengan ayat-ayat yang amat spiritual. Setelah panjang lebar menjelaskan larangan riba, adab muamalah, dan tata administrasi utang, tiba-tiba wahyu bergeser menjadi sangat batiniah: “Kepunyaan Allah segala yang di langit dan di bumi…” (QS 2:284).
Di sinilah tampak keindahan struktur Al-Qur’an. Bahwa sistem ekonomi Islam tidak berhenti di angka, rasio, atau kontrak, tetapi berujung pada tauhid, kesadaran akan keesaan dan kepemilikan mutlak Allah. Setiap transaksi, setiap harta, bahkan niat di dalam hati, berada di bawah pengawasan Sang Pencipta.
Dari Riba ke Tauhid: Perjalanan Makna
Larangan riba dalam Al-Baqarah (ayat 275–281) bukan sekadar hukum keuangan, melainkan proklamasi spiritual. Islam datang pada masyarakat yang dikuasai oleh ekonomi rente dan utang menjerat. Riba jahiliyah — bunga yang bertambah karena waktu — adalah simbol perbudakan modern kala itu.
Allah menegaskan, “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (2:275). Dalam satu kalimat, arah ekonomi Islam berubah: dari sistem yang menindas menuju sistem yang menumbuhkan. Namun ayat-ayat selanjutnya memperlihatkan dimensi moral: memberi tenggang waktu bagi yang kesulitan (2:280), mendorong sedekah, dan menulis transaksi dengan adil (2:282).
Lalu datang ayat 283–286 — bukan untuk menambah hukum baru, melainkan untuk mengangkat hukum ke tingkat kesadaran ruhani. Larangan riba menemukan puncaknya bukan di pasar, tapi di hati manusia.
Ayat 2:284 — Segalanya Milik Allah
“Kepunyaan Allah segala yang di langit dan di bumi. Jika kamu menampakkan apa yang ada dalam hatimu atau menyembunyikannya, Allah akan menghisabnya.”
Setelah berbicara tentang harta, utang, dan kepemilikan, Allah menegaskan: tidak ada kepemilikan sejati selain milik-Nya.
Secara ekonomi, ini adalah pembebasan manusia dari ilusi kepemilikan absolut. Uang, waktu, dan kekayaan hanyalah titipan; manusia hanyalah pengelola (mustakhlaf), bukan pemilik.
Secara filosofis, ayat ini mengembalikan manusia ke pusat kesadaran tauhid — bahwa sumber nilai bukanlah pasar, tetapi Tuhan. Dalam bahasa Ibn Arabi, harta dan dunia hanyalah tajalli (manifestasi) dari nama-nama Allah yang menguji kesetiaan manusia terhadap amanah.
Ayat 2:285 — Iman dan Ketaatan sebagai Dasar Ekonomi
“Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman… Kami dengar dan kami taat.”
Ayat ini muncul sebagai pernyataan iman kolektif, seolah Allah ingin berkata: “Setelah engkau mengetahui hukum-hukum-Ku, kini taatilah dengan hati.”
Iman menjadi pondasi moral ekonomi Islam. Larangan riba tidak akan bermakna tanpa hati yang tunduk. Keadilan muamalah tidak akan lahir tanpa iman kepada Hari Perhitungan. Dalam bahasa modern, iman berfungsi sebagai mekanisme pengawasan internal (moral self-regulation), menggantikan kontrol eksternal yang mahal dan sering gagal.
Dari sini kita belajar bahwa ekonomi Islam bukanlah sistem yang bergantung pada pengawasan negara, tetapi pada ketundukan batin manusia kepada Allah. Iman menjadi energi sosial yang menghidupkan pasar dengan nilai kejujuran dan keadilan.
Ayat 2:286 — Keseimbangan antara Syariat dan Rahmat
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya…” Jika ayat-ayat sebelumnya memberi hukum, maka ayat ini memberi pelukan. Setelah larangan keras riba, Allah menutup dengan rahmat: tidak ada beban di luar kemampuan manusia.
Filosofinya dalam konteks ekonomi sangat dalam — bahwa sistem keuangan Islam bukan sistem yang menghukum, tetapi yang mendidik dan menumbuhkan.
Islam tidak ingin menjerat orang yang jatuh miskin karena kesulitan, tetapi mengajarkan agar yang kuat menolong yang lemah. Ayat ini adalah garansi keadilan ilahi di tengah realitas ekonomi yang tidak sempurna.
Di zaman modern, prinsip ini menuntun kebijakan ekonomi syariah untuk tidak kaku. Setiap regulasi harus mengandung maqasid al-syari‘ah — tujuan syariah yang menegakkan kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan (mafsadah).
Tinjauan Sosiologis dan Psikologis
Sosiologisnya, ayat-ayat penutup ini menegaskan bahwa ekonomi bukan sekadar jaringan uang, tapi jaringan kepercayaan. Ketika Allah memerintahkan pencatatan utang (2:282) dan menutup dengan “jangan sembunyikan kesaksian” (2:283), itu adalah fondasi transparansi sosial.
Sedangkan 2:284–286 menggeser ke dimensi batin: transparansi bukan hanya pada dokumen, tetapi juga pada niat.
Psikologisnya, manusia diingatkan bahwa setiap transaksi adalah ujian spiritual. Riba lahir dari kecemasan: takut rugi, takut kehilangan waktu. Tauhid menghapus kecemasan itu karena mengajarkan reliance (tawakkal) — bahwa rizki datang dari Allah, bukan dari manipulasi angka.
Maka, melawan riba sesungguhnya adalah melawan ketakutan akan masa depan, dan menyerahkan kalkulasi ekonomi kepada keadilan ilahi.
Refleksi Filosofis: Tauhid sebagai Etika Ekonomi
Secara filosofis, penutup Al-Baqarah menampilkan apa yang bisa disebut “teologi ekonomi Islam.” Tauhid bukan hanya doktrin keimanan, tetapi juga struktur nilai yang menolak dominasi dan eksploitasi.
Ketika Al-Qur’an menutup dengan “Engkau adalah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir,” (2:286), itu bukan sekadar doa perang, melainkan doa pembebasan dari sistem ekonomi yang menindas manusia.
Tauhid, dalam konteks ini, adalah anti-tesis terhadap riba.
Jika riba menuhankan uang, tauhid menuhankan Allah. Jika riba membangun ketakutan, tauhid membangun ketenangan. Jika riba menumbuhkan keserakahan, tauhid menumbuhkan keikhlasan. Inilah ekonomi yang menolak menjadikan manusia sebagai angka atau aset, dan mengembalikan martabatnya sebagai khalifah yang mengelola bumi dengan amanah.
Dunia Modern dan Krisis Kesadaran
Kini, ketika dunia modern hidup dalam sistem bunga, kredit konsumtif, dan spekulasi pasar, pesan penutup Al-Baqarah terdengar seperti panggilan nurani.
Kita hidup dalam zaman di mana riba telah menyatu dengan gaya hidup, bahkan disamarkan sebagai kemajuan finansial. Namun, Al-Qur’an mengingatkan bahwa semua sistem yang melupakan keadilan dan rahmah akan runtuh dari dalam.
Krisis keuangan global, ketimpangan sosial, dan kehancuran lingkungan adalah tanda-tanda dari keterputusan manusia dengan tauhid ekonomi.
Kita membangun gedung-gedung tinggi di atas fondasi yang rapuh — karena fondasi itu bukan iman, melainkan ketamakan.
Penutup: Jalan Kembali Menuju Kesadaran Tauhid
Akhir Surat Al-Baqarah adalah jalan pulang.
Setelah menapaki dunia hukum, perdagangan, dan muamalah, manusia diajak kembali menundukkan kepala, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami, ya Tuhan kami…” (2:285–286).
Inilah kesadaran ekonomi yang sejati — bahwa kesejahteraan tidak hanya lahir dari distribusi kekayaan, tetapi dari penyerahan diri kepada Yang Maha Kaya. Tauhid bukan sekadar kalimat di lidah, tetapi sistem kesadaran yang mengubah cara kita mencari, mengelola, dan membelanjakan harta.(*)
Pondok Kelapa, 10 Oktober 2025